RAB.com (JAKARTA): Sejumlah penelitian menemukan perilaku trolling ditandai adanya satu perasaan lega (fulfilment) setelah membuat anarki sosial dan gangguan (disruption) atau juga diketahui sebagai potensi sosial negatif. Perilaku trolling di media sosial (medsos) berkorelasi positif dengan tingginya empat aspek gelap kepribadian (Dark Tetrad personality).
Studi yang diterbitkan dalam jurnal Personality and Individual Differences melihat 1.215 pengguna medsos pria dan wanita berumur 18 tahun ke atas. Salah satu kesimpulannya trolling berkorelasi positif dengan variabel aspek gelap kepribadian yang merusak yaitu narsisisme, Machiavellianisme, kecenderungan psikopat, dan sadisme.
Dalam penelitian semua partisipan diminta mengisi kuesioner terkait kecenderungan kepribadiannya. Selain itu juga diminta melakukan pemeringkatan keasyikan (enjoyment rating) dan skor identitas. Dari semua pengukuran aspek kepribadian itu, sadisme menunjukkan kadar keterhubungan paling kuat dengan trolling, dan yang terpenting, berhubungan spesifik dengan perilaku trolling.
“Keasyikan aktivitas online yang lain, seperti chatting dan berdebat, tidak berhubungan dengan sadisme. Jadi bisa dikatakan cyber-trolling merupakan satu perwujudan sadisme dalam keseharian,” demikian pernyataan Erin E. Buckels, pimpinan tim peneliti dari University of Winnipeg, Winnipeg, Manitoba dan University of British Columbia, Vancouver, di Kanada pertengahan 2014.
Menurut tim, ada dua jenis troll, yaitu yang spontan dan troll dengan strategi. Yang mengkhawatirkan adalah orang-orang yang melancarkan troll dengan strategi di medsos juga memiliki kecenderungan psikopat yang cukup tinggi. Sebab, tim menjelaskan, orang tersebut mampu menebak dan menyadari penderitaan emosional korban dan lebih berpotensi untuk melakukan tindak sadisme.
Troll adalah perilaku saat seseorang posting pesan provokatif, ngawur, atau melenceng dari topik pada satu komunitas online, seperti forum diskusi, chat room, atau blog, dengan tujuan utama memancing pengguna lainnya memberi respons emosional sesuai keinginannya maupun mengganggu jalannya diskusi. Berbeda dengan bullying, pelaku lebih mencari perhatian untuk kepuasan diri.
Mengatasinya: abaikan saja
Mengenali apa yang memotivasi seseorang melakukan trolling di internet merupakan fokus penelitian pertama kali yang dirintis Federation University Australia. Hal ini muncul saat pakar psikologi di Federation University Australia menyerukan perlunya rangkaian kampanye pendidikan tertarget untuk menjaga pengguna medsos populer melawan perilaku merusak trolling di internet.
Dr Evita March, kepala peneliti dan dosen psikologi di Federation University, Gippsland Campus, di Australia, mengatakan pria lebih cenderung melakukan perilaku trolling daripada wanita. Level lebih tinggi kecenderungan psikopat dan sadisme kemungkinan memunculkan perilaku trolling, dengan sadisme sebagai faktor pemberi pengaruh paling kuat.
“Lebih sering orang melakukan troll untuk memicu satu reaksi. Tahu bahwa orang lain terganggu dengan perilakunya makin membakar keinginannya untuk lebih mengacau lagi atau bahkan meneror,” kata Dr March menambahkan dengan lebih dari 3,17 miliar orang dari seluruh dunia terhubung di internet juga memicu kerawanan tersendiri.
Yang dimaksud Dr March adalah anonimitas lingkungan online dan kecepatan komunikasi membuat internet jadi lahan subur perilaku troll. “Facebook, salah satu situs sosmed paling populer, telah menjadi tempat terbesar di dunia maya untuk melakukan berbagai perilaku antisosial, khususnya trolling. Hal ini makin sering dilakukan dan membuatnya semakin berbahaya.”
Karena itu, Dr March menekankan agar masyarakat mengambil tindakan terbaik yang bisa dilakukan untuk melawan troll. “Jangan menyuburkan perilaku troll. Jika tujuan perilaku mereka memicu satu reaksi emosional dari anda – cobalah menangkalnya dengan tidak bereaksi marah atau mengabaikannya agar mereka tak terpuaskan dan biasanya akan hilang sendiri,” katanya akhir tahun lalu.
Dr March mengatakan hasil penelitian yang diterbitkan Elsevier dimaksudkan bisa memicu studi lebih besar untuk memahami lebih baik dampak trolling pada korban, faktor pemicu terkait siapa saja yang jadi sasaran pelaku troll, dan kenapa. Dia juga berharap penelitiannya mendukung pengembangan kampanye pendidikan untuk membantu pengelola sosmed memberi mekanisme perlindungan lebih baik kepada penggunanya.