RAB.com (JAKARTA): Isyu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) bak hantu usang yang tak bosan-bosannya dihembuskan kalangan militer dan Islam garis keras setiap tahun. Rekayasa lewat hoaks di media sosial kali ini berhasil membenturkan sekurangnya polisi dan kelompok anti-PKI yang menyulut kerusuhan dan ditengarai akan jadi alasan menggoyang pemerintahan yang sah.
“Ideologi komunis jelas bertentangan, sehingga kalau ada cegah. Kalau ada laporkan kepada aparat dan serahkan pada jalur hukum yang ada. Tapi harus ada bukti kongkret,” kata Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Letjen TNI (purn.) Agus Widjojo dalam wawancara dengan sejumlah kesempatan awal pekan ini.
Agus menandaskan aparat perlu dilibatkan agar masalah kebangkitan PKI dan komunisme tidak selalu menjadi isyu yang tiap tahun disulut untuk membuat kekacauan. Agus menilai banyak di antara kita sekarang ini menuding PKI dan komunis hanya didasarkan pada bayang-bayang. Dengan hanya untuk mencari kepuasan atau menjustifikasi keinginan sendiri, termasuk untuk kepentingan politik menjelang Pemilu 2019.
“Kalau memang ada, itu tidak boleh terjadi. Laporkan ke aparat karena sudah cukup peraturan perundang-undangan yang jelas melarang adanya komunisme maupun partai komunis di Indonesia,” ujar yang putera Brigjen Anumerta Soetoyo Siswomihardjo yang menjadi korban G30S/PKI.
Agus yang pelaku sejarah langsung pada peristiwa memilukan tahun 1965 itu menandaskan bahwa komunisme tidak punya ruang di kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Hal ini, kata dia, merupakan wujud ekspresi berbangsa dan bernegara di Indonesia yang masuk dalam bingkai Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Apresiasi Presiden
Mengomentari usulan Presiden Jokowi untuk membuat film baru tentang tragedi 1965 agar lebih dipahami generasi milenial, pelopor transformasi di militer ini menyatakan apresiasinya. “Bagus sekali itu untuk disesuaikan film itu dengan perkembangan zaman. Terutama dengan audiens generasi yang sudah jauh berbeda daripada ketika film ini pertama kali dibuat.”
Agus mengatakan penyesuaian juga perlu agar film lebih mudah dicerna oleh generasi yang ada sekarang, tetapi juga tidak mengubah bahan-bahan dasar fakta-fakta sejarah yang ada. Dia menambahkan hal itu diperlukan karena juga ditengarai adanya ketidaksesuaian dengan kenyataan atau fakta yang berlaku pada waktu itu. “Inilah kesempatan untuk bisa memperbaiki guna lebih mendekati keadaan yang berlaku pada waktu itu.”
Agus menambahkan bahwa pembuatan film itu adalah sebuah metode dalam pembelajaran sejarah. Jadi sah-sah saja bila sejarah akan dijadikan film tapi juga tergantung bagaimana niat pembuatan film. Apakah pembuatan film ini lebih berat kepada aspek katakanlah sinematografi dan estetika, atau film ini dibuat sebagai sebuah dokumenter yang harus persis berdasarkan fakta-fakta yang berlaku saat peristiwa terjadi.
“Kalau memang didasarkan kepada fakta yang berlaku, ini kan seperti penulisan sejarah dan penulisan sejarah nanti akan terulang kembali untuk memasuki perdebatan: mana yang benar versinya bisa direkam dalam sebuah film. Namun sebagai sebuah metodologi memang akan baik kalau disesuaikan dengan kultur generasi muda sekarang yang berbeda dengan generasi dulu.”
Soal imbauan dari Panglima TNI untuk menonton film, lepas dari maksudnya untuk menunjukkan keganasan PKI atau semata agar tahu sejarah, Agus mengatakan bahwa pada akhirnya soal itu diserahkan saja kepada masyarakat atau pasar yang sudah semakin cerdas untuk menanggapi. “Masyarakat punya kebebasan untuk bisa menonton atau tidak,” ujarnya menambahkan mengingat dan memahami sejarah itu sangat penting tetapi tidak hanya melalui film.