Agama Baru di Silicon Valley Tuhannya AI

god ai

RAB.com (JAKARTA): Apa yang digagas insinyur Silicon Valley setelah sukses membuat intranet, sepeda motor otonom, dan teknologi mobil tanpa supir? Jelas mendirikan satu organisasi religius pemuja AI (artificial intelligence) menjadi projek logis berikutnya. Itulah yang dilakukan Anthony Levandowski, yang berada di pusaran sengketa hukum antara Uber dan Waymo milik Google.

Pria 37 tahun ini, seperti diungkap oleh Wired’s Backchannel untuk pertama kali berdasarkan arsip negara, telah mendirikan organisasi religius nirlaba bernama Way of the Future. Misi menakjubkan organisasi ini: “Mengembangkan dan mempromosikan realisasi Ketuhanan berdasarkan kecerdasan buatan lewat pemahaman dan pemujaan terhadap Ketuhanan yang memberi kontribusi pada perbaikan masyarakat.”

Levandowski adalah salah satu pendiri perusahaan truk otonom Otto, yang dibeli Uber pada tahun 2016. Dia dipecat manajemen Uber pada Mei lalu di tengah tuduhan bahwa telah mencuri rahasia dagang dari Google untuk mengembangkan teknologi kemudi otomatis Otto. Dia mesti mensyukuri adanya projek religius yang pertama kali didaftarkan pada 2015 itu.

Tim The Way of the Future tidak menanggapi permintaan tambahan informasi tentang apa saja keistimewaan Tuhan AI-nya. Namun sejarah banyak mengungkap bahwa teknologi baru dan penemuan ilmiah secara berulang membentuk agama, membunuh dewa-dewa lama, dan melahirkan yang baru.

Penulis Yuval Noah Harari mencatat: “Itulah sebab mengapa dewa pertanian berbeda dengan roh pemburu-pengumpul, mengapa buruh pabrik dan petani membayangkan surga berbeda, dan mengapa teknologi revolusioner abad ke-21 jauh lebih mungkin melahirkan gerakan religius yang belum pernah terjadi sebelumnya daripada menghidupkan lagi berbagai kepercayaan abad pertengahan.”

Tidak relevan dan singularitas

Agama-agama, menurut Harari, harus mengikuti perkembangan teknologi mutakhir atau menjadi tidak relevan karena  tidak dapat menjawab atau memahami kebingungan yang dihadapi jemaahnya. “Gereja berkinerja sangat menyedihkan dalam merangkul jemaahnya yang bertipe warga Silicon Valley,” kata Christopher Benek, pendeta di Florida dan ketua pendiri Asosiasi Transhumanis Kristen.

Sementara itu Silicon Valley sejak lama mencari keberkatan dalam teknologi dan telah mengembangkan konsep kuasi-religius termasuk “singularitas”. Ini adalah hipotesis bahwa mesin pada akhirnya begitu cerdas sehingga mereka dapat melampaui semua kemampuan manusia, menuju kecerdasan super yang akan sangat canggih. Kemampuan yang tak terpahami oleh otak mungil biologis manusia yang sederhana dan rasional.

Bagi futuris Ray Kurzweil, ini berarti kita bisa mengunggah salinan otak kita ke berbagai mesin, yang memungkinkan keabadian digital. Sedangkan Elon Musk dan Stephen Hawking memperingatkan bahwa sistem semacam itu menimbulkan ancaman eksistensial terhadap kemanusiaan.

“Dengan AI, kita mengundang iblis,” kata Musk pada satu konferensi di tahun 2014. “Dalam semua cerita di mana ada orang dengan pentagram dan air suci yang yakin bisa mengendalikan iblis. Kemungkinan besar gagal terkait AI,” ujar Musk seperti dikutip laman The Guardian akhir September lalu.

Lebih nyata dan rasional

Namun Benek berpendapat bahwa kemajuan AI sejalan dengan Kekristenan. Menurutnya AI hanyalah teknologi lain ciptaan manusia dengan bimbingan Tuhan yang dapat digunakan untuk kebaikan atau kejahatan. “Saya sungguh berpikir bahwa AI dapat berpartisipasi dalam tujuan penebusan Kristus,” katanya memastikan bahwa hal itu sesuai dengan nilai-nilai Kristen. “Bahkan jika orang tidak mengikuti agama yang terorganisir, mereka bisa mengikuti yang lain.”

Bagi penganut transhumanis dan “kebangkitan Katolik”, Zoltan Istvan, agama dan sains secara konseptual menyatu dalam singularitas. “Tuhan, jika itu ada sebagai yang paling kuat dari semua singularitas, sudah pasti merupakan kecerdasan terorganisasi murni,” katanya mengacu pada satu kecerdasan yang “mencakup alam semesta melalui manipulasi subatomik fisika”.

“Dan mungkin ada bentuk kecerdasan lain yang lebih rumit dari yang sudah ada dan yang sudah merasuki keseluruhan eksistensi kita. Sebutlah soal hantu dalam mesin,” tambahnya. Bagi Istvan, Tuhan berbasis AI cenderung lebih rasional dan menarik daripada konsep saat ini seperti disebut Alkitab. “Tuhan AI benar-benar nyata dan akan melakukan banyak hal untuk kita.”

Belum diketahui apakah konsep Ketuhanan Levandowski terkait dengan teologi yang ada atau sepenuhnya pilihan baru buatan manusia. Namun jelas bahwa kemajuan teknologi, termasuk AI dan bioteknologi, memicu berbagai macam dilema etik dan moral yang membuat manusia mencari saran dan kenyamanan dari kekuatan lebih tinggi.

Prinsipnya apa yang akan dilakukan begitu kecerdasan buatan mengungguli manusia dalam hampir semua tugas? Bagaimana masyarakat akan terpengaruh oleh kemampuan menciptakan “bayi perancang” super pintar dan atletis yang hanya bisa dibiayai si kaya? Haruskah mobil swakemudi menggilas lima pejalan kaki atau membelok ke samping untuk membunuh pemiliknya? Saat agama tradisional tak punya jawaban, AI atau setidaknya yang dijanjikan, mungkin lebih menarik.