RAB.com (JAKARTA): Ribut-ribut soal menurunnya daya beli masyarakat menjadi perbincangan menarik. Benarkah nilai uang semakin merosot di tengah rendahnya inflasi dan naiknya angka pertumbuhan ekonomi? Ada klaim dari lembaga yang mengkritisi pemerintah tentang kurang efektifnya program ekonomi yang diluncurkan. Sedemikian burukkah kenyataannya?
Hal ihwal penurunan kemampuan itu sedikit terungkap saat Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menegaskan daya beli masyarakat masih kuat. “Ini terbukti dari kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto (PDB) yang masih dominan. Konsumsi masyarakat masih tumbuh kuat. Semua komponen tidak ada yang negatif,” ujarnya,
Hal itu disampaikan Suhariyanto dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (7/8). Menurut Suhariyanto, berdasarkan laju pertumbuhan PDB menurut pengeluaran, komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh signifikan pada triwulan kedua 2017, yaitu 4,95 persen (year-on-year). “Lebih tinggi sedikit dibanding triwulan pertama yang 4,94 persen.”
Suhariyanto menyebut konsumsi rumah tangga menyumbang 2,65 persen terhadap pertumbuhan ekonomi di triwulan kedua 2017, yang tercatat 5,01 persen. Kategori makanan dan minuman restoran dan hotel tumbuh 5,87 persen, sedangkan makanan dan minuman 5,24 persen.
Namun, dia mengingatkan, kelompok rumah tangga di Indonesia yang tumbuh dari stratifikasi bawah ke atas perilakunya berbeda-beda. “Dari berbagai indikator, kita perlu memberikan perhatian lebih kepada masyarakat bawah. Di sana ada indikasi upah riil buruh bangunan turun meskipun nominalnya naik. Upah buruh tani juga turun,” ucapnya.
Hampir semua positif
Kemudian, untuk perilaku rumah tangga menengah ke atas, terdapat transaksi debit dan kredit yang masih cukup tinggi. “Jadi masyarakat menengah ke atas ada indikasi persentase yang ditabung lebih tinggi.” Hal itu, menurut Suhariyanto, disebabkan oleh faktor psikologis yang memperhatikan perekonomian global, sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Selanjutnya, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) juga tercatat menguat, yaitu 5,35 persen (year-on-year) pada triwulan kedua 2017. Suhariyanto mengatakan pertumbuhan itu didorong oleh investasi bangunan, kendaraan, dan peralatan lain. Realisasi belanja pemerintah untuk belanja modal juga tercatat meningkat dibandingkan dengan triwulan kedua tahun lalu.
“Belanja modal pemerintah cukup bagus. Ini akan memberikan sinyal positif kepada swasta,” ujarnya. BPS menyebut realisasi belanja pegawai turun karena adanya pergeseran pembayaran gaji ke-13 yang tahun lalu jatuh di bulan Juni dan masuk triwulan kedua. Tahun ini di triwulan ketiga karena baru Juli turun,” kata Suhariyanto.
Dia menambahkan, realisasi belanja barang juga menurun sebagai bentuk efisiensi biaya, seperti perjalanan dinas, sosialisasi, seminar, pemeliharaan, dan perlengkapan alat tulis kantor. “Tapi untuk realisasi belanja sosial yang dibutuhkan masyarakat lapisan bawah meningkat 18,61 persen,” tutur Suhariyanto.
Terkait adanya peralihan (shifting) kegiatan ekonomi, Suhariyanto mengakui bahwa pertumbuhan serta pengembangan transaksi dan konsumsi bisnis online atau e-commerce yang belum tercatat atau menjadi objek statistik bagi BPS. “Saya tidak bisa jawab kalau sekarang ditanya berapa share e-commerce, karena tidak ada satu data yang khusus kami kumpulkan tentang itu,” ujarnya.
Bappenas sudah minta
Dia menuturkan saat ini ada beberapa pihak swasta atau lembaga dan institusi yang telah mencoba menangkap perkembangan statistik pertumbuhan bisnis e-commerce. BPS pun berencana melakukan pemantauan dan penghitungan serupa. “Kami ke depan akan melakukan pengumpulan data e-commerce tapi tentu perlu bersama dengan stakeholder swasta dan lainnya,” ucapnya.
Meskipun demikian, secara umum, menurut dia, transaksi dan konsumsi di bisnis e-commerce lebih dilakukan kelompok masyarakat rumah tangga menengah ke atas. “Kalau saat ini memang belum memungkinkan, kecuali kita punya sumber data yang pasti. Kami perlu memikirkan kerja sama yang dibutuhkan karena penting mendapatkan gambaran untuk sektor ini,” katanya.
Suhariyanto menambahkan, secara nominal, pertumbuhan e-commerce memang cukup besar, tapi persentase kontribusinya terhadap total produk domestik bruto (PDB) diperkirakan masih belum signifikan. Pertumbuhannya, menurut dia, sebetulnya tidak meledak seperti yang dibayangkan karena berdasarkan data transaksi debit atau kredit bisnis online tidak melonjak drastis.
“Perdagangan yang dilakukan melalui sistem online atau e-commerce dipandang sebagai perubahan dan pergeseran dari transaksi penjualan langsung. Tapi belanja online ini persentasenya bisa dipastikan masih kecil dibanding share-nya konsumsi rumah tangga ke PDB.”
Sebelumnya Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengungkapkan urgensi pencatatan statistik pertumbuhan serta pengembangan transaksi dan konsumsi pada bisnis online atau e-commerce. “Kita akan minta BPS memperbaiki mekanisme pengumpulan data dengan menangkap transaksi online dalam PDB dan konsumsi.”
Bambang dalam keterangan di kantornya, Jumat (4/8) mengatakan kegiatan bisnis online seharusnya tidak dibiarkan berkepanjangan sebagai sektor informal. “Di sektor ini harus ada penegasan mengenai posisi bisnis online, bagaimana kegiatan online masuk ke sektor formal.”