RAB.com (JAKARTA): Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif mengatakan, momen peringatan Hari Sumpah Pemuda harus dijadikan sebagai pengingat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar. Khususnya menyangkut kegelisahannya bahwa di kalangan muslim yang mayoritas tidak bisa membedakan antara Islam dan Arabisme.
Dengan maraknya ideologi asing yang masuk ke Indonesia, masyarakat hendaknya tidak melupakan identitas budaya bangsa yang beragam. Sebab, tidak dipungkiri banyak ideologi asing tersebut yang mengancam kebhinekaan. “Bangsa ini besar, jangan sampai ada ideologi impor,” kata sesepuh guru bangsa yang biasa dipanggil Buya Syafii ini.
Buya menandaskan jangan sampai meninggalkan identitas kita sebagai bangsa yang besar. “Bangsa ini besar, jangan sampai ada ideologi impor,” ujar Syafii dalam sebuah diskusi Satu Dalam Bhinneka, Satu Dalam Sumpah Pemuda, Satu Indonesia, di SMA Kolese Gonzaga, Jakarta, Sabtu (28/10/2017).
Syafii mengatakan, Indonesia adalah bangsa yang plural. Berbagai suku dan agama tumbuh di tengah masyarakat. Di sisi lain, ada kelompok-kelompok yang berupaya merusak kebhinekaan untuk kepentingan politik praktis. Ada kelompok yang merusak bangsa yang bhinneka untuk kepentingan politik praktis.
“Ada ideologi yang sudah bangkrut, tetapi masih mau dibeli. Ada (kelompok) garis keras dan segala macam. Itu menurut saya mulai merusak pilar kebhinekaan kita. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu juga,” kata Syafii yang belum lama ini terekspos media sering menggunakan sepeda saat bepergian di kota tempat tinggalnya, Yogyakarta.
Menurut Syafii, lemahnya pilar kebangsaan dari ancaman ideologi asing juga terjadi karena identitas kedaerahan saat ini mulai ditinggalkan. Dia pun mengungkapkan kritiknya terhadap generasi muda yang lupa dengan identitas kedaerahannya. “Bahasa daerah jangan sampai mati, anak muda Jawa sudah enggak bisa bahasa Jawa. Padahal itu sangat kaya. Saya akan menangis kalau bahasa daerah mati semua,” kata Buya.
Kuncinya kemanusiaan
Dalam kesempatan berbeda, Buya Syafii menyentil kalangan muslim yang tidak bisa membedakan antara Islam dan Arabisme. Pernyataan Buya Syafii itu muncul dalam seminar bertema Bisikan dari Jogja: Refleksi dan Evaluasi Bidang Kebudayaan Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK di Yogyakarta, 21-22 Oktober 2017.
Buya Syafii menyebutkan ada Arabisme yang baik dan yang tersesat. Arabisme yang tersesat hanya fokus pada bentuk atau ritual, bukan internalisasi atau substansi. “Agama dipakai tidak untuk mengarahkan pemeluknya kepada hal-hal yang lebih baik. Orang memakai tasbih saja seakan-akan sudah Islam. Ini pembodohan,” katanya pada Ahad (22 /10).
Ia menyoroti radikalisme yang punya daya rusak luar biasa karena mengobarkan semangat perang. Menurut penganjur para guru sejarah agar sering membaca novel dan filsafat, negara-negara Timur Tengah saat ini tidak berdaya menghadapi radikalisme dan terorisme yang semakin menguat.
Radikalisme di Indonesia, kata dia, menyasar lembaga pendidikan dari tingkat dasar atau taman kanak-kanak hingga kampus. Di kampus, misalnya, radikalisme menyasar mahasiswa yang mengambil jurusan eksakta atau ilmu pasti, yang berpikirnya linier atau satu arah. “Mereka rentan sekali karena pikirannya hanya hitam putih,” ujarnya.
Menurut Syafii, kelompok-kelompok radikal itu menganut kebenaran tunggal sehingga membunuh keberagaman. Kelompok radikal, kata dia, tidak hanya membahayakan kalangan kampus, tapi juga agama. “Lama-lama agama ditolak. Padahal agama menghidupkan hati nurani, kreativitas, dan otak.”
Dalam Al-Quran, ucap Buya Syafii, jelas orang beriman harus menghidupkan akal budi dan kritis. Ia menekankan, bila agama dipahami dengan benar, orang akan enak menjalankannya. Kuncinya, menurut Buya Syafii, adalah kemanusiaan.