RAB.com (JAKARTA): Menyimak berbagai komentar tentang duduk perkara meninggalnya bayi Tiara Debora mengusik rasa prihatin kita. Bagaimana tidak karena bayi lucu itu menjadi korban sia-sia yang sesungguhnya dapat dihindarkan. Ternyata masih ada kelemahan dalam pelayanan rumah sakit (RS) serta liputan jaminan BPJS.
Seperti biasa keributan baru terjadi saat korban meninggal. Ada berbagai curahan pendapat yang sungguh membuka wawasan kita tentang bagaimana peserta BPJS yang tahunya mendapatkan pelayanan saat mesti berinteraksi dengan RS yang ternyata belum bergabung dengan program nasional yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh warga itu.
Curahan itu mengarah silang pendapat karena semua pihak, khususnya pihak RS dan pemerintah, tampaknya tak ingin disalahkan. Diskusi kenapa RS diduga kuat menyalahi aturan mengingat ihwal biaya kegawatdaruratan akan diganti BPJS meski perlu waktu pun mencuat. Tak masuk logika kenapa pemahaman yang mestinya tersosialisasikan dengan baik di manajemen RS ini absen.
Kalau mau lebih menohok dan filosofis, betapa arogannya RS yang sekadar memikirkan agar tidak rugi dan melalaikan kewajiban utamanya untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya, khususnya pada kasus kedaruratan. Seolah mereka hidup di awan yang terpisah dari lingkungan sekitar: hanya sekadar mau mengambil dan enggan berbagi.
Apa yang terjadi merupakan masalah yang sebenarnya jelas dan gamblang sudah diatur dengan cukup rinci. Masalahnya seperti lazim terjadi aturan tinggal aturan yang cenderung sekadar berfungsi sebagai pajangan: ditempel dengan tulisan ukuran besar di tembok tapi tidak dilaksanakan. Yang berlaku dan harus jadi pedoman adalah aturan tak tertulis.
Soal ini mestinya jadi tugas pemerintah untuk mengawasinya. Tapi masalahnya birokrasi tidak sigap melakukan antisipasi. Baru menelisik ke sana-sini mencari informasi tentang duduk masalah saat nasi sudah menjadi bubur. Karena business as usual dan seperti pemadam kebakaran, untuk ke depan tampaknya tak ada jaminan kasus tak akan terulang lagi.
Perlu perbaikan SOP?
Masalah ini tampaknya masih akan terus jadi bahasan hingga pekan mendatang. Pasalnya kejadian di RS Mitra Keluarga Kalideres ini banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Selain dinas di pemerintah daerah, Departemen Kesehatan pun sudah bicara soal sanksi. Belum lagi organisasi profesi kedokteran dan lembaga seperti KPAI yang juga akan meminta penjelasan dari semua pihak.
Berikut ini perkembangan terakhir:
Dinas Kesehatan DKI Jakarta telah bertemu dengan manajemen Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat, terkait kematian bayi Debora. Dari pertemuan itu disimpulkan, meninggalnya bayi berusia empat bulan itu bukan akibat keterlambatan penanganan medis. “Jadi dari sisi medis tidak ada kesalahan atau penundaan tindakan penanganan,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Koesmedi Priharto di Kantor Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.
Koesmedi pada Senin (11/9) membantah disebut membela dan berjanji akan mengaudit Rumah Sakit Mitra Keluarga, Kalideres, soal beberapa langkah yang sudah mereka jalankan terhadap bayi Debora. “Nanti kami juga datang ke keluarga pasien menanyakan kalau informasi itu sudah benar apa belum. Ini langkahnya masih panjang makanya kami akan bikin tim,” ujarnya,
Direktur Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Fransisca Dewi, menyatakan permohonan maaf dan turut berduka atas meninggalnya bayi Debora. “Kami akan mengembalikan biaya perawatan yang telah dikeluarkan keluarga untuk perawatan Debora di UGD RS Mitra Keluarga,” kata Dewi dalam konferensi pers di RS Mitra Keluarga Kalideres, Senin (11/9). “Seharusnya sudah ditanggung BPJS sejak awal,” ujar Dewi.
Kepala Humas RS Mitra Keluarga Nendya Libriyani mengatakan, tidak ada perbedaan mendasar antara penanganan di Unit Gawat Darurat (UGD) maupun di Ruang PICU (Pediatric Intensive Care Unit) di Ruang Mitra Keluarga Kalideres. “Penanganan di UGD dan di PICU itu tidak ada perbedaan yang mendasar, hanya ruangannya yang berbeda, alatnya juga hampir sama
Kementerian Kesehatan menyatakan pernah mencabut izin operasional sebuah rumah sakit terkait masalah uang muka pelayanan medis. Hal itu dilakukan hingga rumah sakit memperbaiki sistem pelayanannya. “Ini sudah pernah terjadi sebelumnya, di rumah sakit mana ketahuan salah dia, kita cabut izinnya sampai enam bulan tidak bisa operasional, sampai dia perbaiki sistem,” kata Sekjen Kemenkes Untung Suseno Sutarjo di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (11/9).
Suseno mengatakan Kemenkes masih menunggu hasil investigasi atas kejadian yang terjadi di RS Mitra Keluarga Kalideres terkait meninggalnya bayi Debora. “Jadi Ibu Menkes dalam statement-nya 2×24 jam audit medis kasusnya. Jam per jam kan ada buktinya nanti di medical record alat. Keluarga juga ditanyain, dicocokkan dengan omongan RS. Kalau cocok, baru kita bisa ambil keputusan ini,” jelasnya.
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengatakan UU Kesehatan No. 36/2009. jangan sampai ditafsirkan berbeda oleh pihak rumah sakit. Karena itu, pihaknya akan membahas peraturan tersebut. “Kita membahas peraturan ini, jangan sampai UU ini diinterpretasikan (tafsir) berbeda-beda oleh RS. Jadi harus ada SOP yang jelas.”
Target kita, kata Dede Yusuf di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (11/9), Kementerian Kesehatan segera duduk bersama stakeholder lainnya, baik swasta maupun pemerintah, untuk membuat SOP dalam penanganan emergency. Dede menambahkan, SOP dalam hal medis, teknis, dan administrasi tidak boleh bertubrukan. Karena rumah sakit juga dilarang meminta uang sesuai UU Kesehatan.