Gula Berefek Adiktif, Setara Nikotin di Bawah Heroin

Gula disebut berefek setara nikotin tapi di bawah heroin.
Gula disebut berefek setara nikotin tapi di bawah heroin.

RAB.com (JAKARTA): Riset terbaru mengungkap bahwa gula bisa membuat kecanduan. Sekurangnya hal itu bisa diamati pada sekelompok tikus dalam penelitian tersebut: saat tak ada gula, dia pun sakaw. Tikus-tikus itu merindukan asupan gula untuk tubuhnya. Selain gejala tak biasa, sekelompok tikus perilaku seperti sakaw ini, bisa dilihat lebih jelas di otaknya.

“Pada hewan, gula sebenarnya lebih adiktif daripada kokain. Jadi, gula mungkin merupakan zat adiktif yang paling banyak dikonsumsi di seluruh dunia. Dan ini mendatangkan malapetaka bagi kesehatan kita,” kata ilmuwan riset kardiovaskular di Saint Luke’s Mid America Heart Institute, Kansas, James J. DiNicolantonio.

Para penulis, seperti diulas dalam British Journal of Sports Medicine akhir pekan lalu, mengatakan gula dapat bertindak sebagai awalan untuk menuju alkohol dan zat adiktif lainnya. Mereka juga mengatakan gula, seperti kokain dan opium, disuling dari tumbuhan untuk menghasilkan kristal putih murni. Ini sebuah proses yang mereka katakan “secara signifikan menambah sifat adiktifnya.”

DiNicolantonio dan ahli jantung James H. O’Keefe serta William Wilson, dokter yang berpraktik di kelompok peneliti nirlaba AS, Lahey Health, mengulas seluruh riset yang ada saat ini tentang gula dan kecanduan. “Mengkonsumsi gula menghasilkan efek yang mirip kokain dalam mengubah mood. Mungkin melalui kemampuannya untuk menstimulasi kenikmatan dan kesenangan, yang mengarah pada kecanduan gula,” ujar DiNicolantonio.

Hasil temuan ini mengejutkan tapi juga mendapat dukungan. Salah satunya dari Robert Lustig, profesor pediatrik di University of California, San Francisco. Dia sepakat bahwa gula itu adiktif, berdasarkan sifat metaboliknya. Lustig pernah berpendapat bahwa gula adalah “alkohol anak”.

Dia menyebut gula sebagai obat terlarang yang lemah, setara dengan nikotin, tapi tidak setara dengan obat-obatan seperti heroin. “Mengingat dampak buruk terlalu banyak mengkonsumsi gula, apalagi sampai kecanduan, memang lebih baik menghindarinya,” ujar Lustig.

Meskipun begitu, saat ini sekitar 75 persen makanan kemasan di Amerika Serikat (AS) ditambahi gula. Rata-rata warga AS mengkonsumsi hingga setengah pon atau seperempat kilogram gula dalam sehari. Bahkan, menurut Public Health England, rata-rata konsumsi gula warga Inggris hampir tiga kali dari batas yang direkomendasikan.

Bukan kecanduan

Jelas konsumsi gula yang tinggi ini dapat meningkatkan obesitas, kerusakan gigi, diabetes, hipertensi, penyakit ginjal, dan penyakit jantung. Fakta bahwa gula terkait dengan penyakit tersebut tidak diragukan. Meski hasil ini bukanlah yang pertama menyimpulkan gula sebagai candu, toh hasil penelitian ini memicu reaksi keras para ahli  yang menyebut klaim tersebut “tidak masuk akal”.

Para pengkritik itu mengatakan konsumsi gula memang menyebabkan masalah kesehatan, tapi tidak menimbulkan kecanduan. Salah satunya Hisham Ziauddeen, psikiater di Universitas Cambridge, yang mengatakan penelitian pada hewan pengerat telah disalahpahami oleh DeNicolantonio cs.

Ulasan tentang tikus sakaw, kata dia, tidak mendukung gagasan bahwa gula itu adiktif bagi manusia. “Perilaku hewan seperti kecanduan itu tidak menunjukkan perilaku yang digolongkan sebagai adiksi,” katanya. Dia juga menyoroti hasil penelitian DiNicolantonio cs yang menyebutkan, meski ada perbedaan antara efek kokain dan gula di otak tikus, keduanya berinteraksi dengan reward system yang sama.

Reward system ada di otak yang mengatur rasa senang. Saat sistem diaktifkan, tercipta kesenangan dan ingin mengulang terus. Menurut Ziauddeen, hal itu tidak mengherankan karena kenyataannya, rewards system dan sirkuit yang mengendalikan perilaku makan sama saja dengan bagian yang merespons obat terlarang. Namun, tidak seperti gula, “obat terlarang tampaknya membajak sistem tersebut dan mematikan kontrol normal mereka.”

Maggie Westwater, kolega riset Ziauddeen, mengatakan perilaku cemas yang kadang ditunjukkan oleh tikus setelah makan gula jauh dari tanda kecanduan. “Perilaku semacam itu sering terjadi dalam konteks puasa yang diperpanjang. Kita tidak bisa mengatakan apakah perilaku tersebut dipercepat oleh konsumsi gula atau kelaparan sebelumnya,” katanya.

Tom Sanders, guru besar nutrisi dan diet di King College, London, mengatakan tidak masuk akal menyatakan gula berefek adiktif seperti obat-obatan keras. Meski memang benar bahwa menyukai hal-hal manis bisa menjadi pembentukan kebiasaan, gula tidak membuat kecanduan seperti kokain. “Individu tidak mendapatkan gejala putus obat saat mereka mengurangi asupan gula,” ujarnya.

Apa yang dipaparkan Ziauddeen tersebut sekaligus menyanggah hal lain yang dikemukakan DiNicolantonio dalam penjelasan hasil risetnya. Bahwa kurang tepat pula mengatakan konsumsi gula pada manusia tidak menyebabkan tanda putus obat secara fisik, melainkan terdapat tanda-tanda biokimia putus obat di otak.