RAB.com (JAKARTA): Hari tua bahagia mungkin masih ilusi bagi banyak orang di Indonesia. Bagaimana tidak karena hasil penelusuran kecil-kecilan tentang kesejahteraan di hari tua tidak menggembirakan. Beberapa survei dari sejumlah lembaga keuangan dan bank beberapa tahun ini menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen pegawai masih ingin bekerja di masa pensiun, hanya sekitar 36 persen yang sudah punya perencanaan keuangan untuk hari tua, dan hanya 1 persen dari 60 juta pekerja sektor formal yang punya program pensiun.
Manulife Investor Sentiment Index (MISI) pada 2014 menunjukkan lebih dari 50% masyarakat Indonesia belum merencanakan masa pensiun. Akibatnya, masyarakat ini terancam miskin di hari tua mereka. Data ini menegaskan bahwa orang yang peduli dengan hari tuanya masih sedikit. Tapi bisa jadi banyak yang sudah berpikir tentang hari tuanya, tapi karena kondisi yang tidak memungkinkan akhirnya cenderung menjadi tidak mau tahu: bagaimana nanti sajalah yang penting hari ini tercukupi.
Setidaknya ada 2 alasan yang menjadi sebab: 1) karena orang Indonesia memandang bahwa tetap bekerja di usia pensiun/tua adalah hal yang wajar dan 2) karena perencanaan masa pensiun yang salah. Untuk sebab terakhir tampaknya memang tidak ada yang bisa disisihkan dari penghasilan yang terus berkejaran dengan kebutuhan hidup. dan hasilnya impas setiap bulan atau malah tekor (yang berarti menambah utang). Belum lagi gaya hidup konsumtif yang godaannya bisa jadi melebihi rayuan setan.
Bagaimana orang difasilitasi atau dipermudah untuk berutang dan menambah utang dengan mengijonkan pendapatannya. Soal utama yang perlu pengetahuan dan keterampilan serta kematangan tersendiri untuk mengatasinya. Yang pertama lebih pada hal teknis terkait penguasaan untuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan uang. Yang kedua terkait aspek psikologis berupa pengendalian diri ajar tidak terjebak pada gaya hidup mengutamakan gengsi yang lebih besar pasak dari tiang.
Termasuk bila tetap berkeras hidup pada tingkat yang dianggap layak atau cukup yang berarti harus memiliki atau menambah keterampilan baru untuk mempertahankan dan menambah sumber penghasilan. Sesuatu yang perlu usaha sangat keras untuk bisa mencapainya. Dalam upaya ini kata seorang pakar keuangan termasuk melakukan berbagai jurus investasi yang memberi hasil di atas inflasi, terus berusaha tanpa patah semangat, dan terus mempertajam keterampilan dan kreativitasnya. Jadi yang terpenting hidup disiplin, menabung, dan berinvestasi sejak usia muda.
Indonesia menua
Pada 2014 angkatan kerja usia lanjut (lansia) di Indonesia menduduki posisi tertinggi, yaitu sebesar 40%. Hanya ada 12 juta warga yang bekerja formal memiliki Jamsostek untuk hari tua. Jumlah tersebut sangat rendah, karena jumlah pekerja formal di Indonesia mencapai 63 juta, dan non-formal 57 juta. Tahun 2016, Indonesia punya 22,6 juta lanjut usia (lansia atau berumur lebih dari 60 tahun) atau 8,75 persen penduduk dengan umur tengah 28 tahun.
Jumlah itu 14 tahun lagi, akan naik jadi 41 juta orang atau 13,82 persen penduduk dengan umur tengah 32 tahun. Jumlah penduduk lansia di Indonesia akan melonjak pada 2030 atau . Saat itu satu dari tujuh penduduk Indonesia atau lebih dari 14 persen. Jadi pada 2030 setelah masa bonus demografi selesai, Indonesia akan memiliki populasi menua (ageing population). Kaum lansia diperkirakan menjadi 71,6 juta orang pada tahun 2050. Meski memiliki sejumlah risiko, lonjakan penduduk lanjut usia itu belum diantisipasi.
Secara hukum UUD 1945 yang sudah diamandemen pada perubahan pasal 34 ayat 2 kini berbunyi: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan melaksanakan amanat ini lewat program jaminan sosial yang merupakan salah satu tanggung jawab dan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan sosial-ekonomi kepada masyarakat sesuai kemampuan keuangan negara.
Khusus untuk jaminan sosial tenaga kerja, BPJS memberikan layanan meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), dan penambahan Jaminan Pensiun mulai 1 Juli 2015. Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan motivasi maupun produktivitas kerja. Seperti negara berkembang lainnya, Indonesia mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.
BPJS Ketenagakerjaan dilandasi filosofi kemandirian dan harga diri untuk mengatasi risiko sosial ekonomi. Kemandirian berarti tidak tergantung orang lain dalam membiayai perawatan pada waktu sakit, kehidupan dihari tua maupun keluarganya bila meninggal dunia. Harga diri berarti jaminan tersebut diperoleh sebagai hak dan bukan dari belas kasihan orang lain. Agar pembiayaan dan manfaatnya optimal, pelaksanaan program BPJS Ketenagakerjaan dilakukan secara gotong royong, dimana yang muda membantu yang tua, yang sehat membantu yang sakit dan yang berpenghasilan tinggi membantu yang berpenghasilan rendah.
Perjuangan masih panjang
Keberadaan jaminan sosial ini dari sisi semangat gotong royong jelas ada manfaatnya. Setidaknya kita semua mulai belajar lagi dan mendapatkan pengalaman kongkret bagaimana prinsip saling membantu untuk meringankan beban orang lain itu masih ada dan nyata. Juga menunjukkan kehadiran negara dalam mendukung warganya agar sebisa mungkin hidup sejahtera, khususnya di masa tua. Apalagi saat ini sudah ada pola yang tidak hanya melindungi pekerja di semua sektor tapi juga kepada semua warga negara lewat APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Namun dari sisi pengelolaan imbal hasil yang diperoleh dari dana para pekerja itu terus menghadapi tantangan. Yang paling jelas adalah soal nilai iuran dan tabungan para pekerja yang tergerus inflasi karena cenderung hanya dikelola secara sangat konservatif. Sedangkan dari sisi pekerja yang pensiun kalaupun ada jumlah uang yang cukup besar dari pencairan jaminan hari tua maupun program pensiun untuk berbisnis, tapi tetap saja ada risiko yang bila tak dikelola secara saksama malah akan mengurangi kesejahteraan si mantan pekerja.
Perjuangan masih panjang karena negara sendiri masih terus berupaya merapikan dan meningkatkan kompetensi jajaran aparatnya agar APBN tidak berceceran ke mana-mana. Dari projek fisik yang mangkrak sampai yang dikorupsi. Dengan kata lain masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan seluruh pemangku kepentingan. Dalam hal ini sebagai warga individu yang aktif berpartisipasi tentunya bisa tetap bisa berperan dengan selalu bersikap kritis untuk memastikan setiap hal berjalan sesuai aturan dan tidak terjadi kebocoran.
Menua adalah proses alami yang dihadapi semua bangsa. Meningkatnya usia harapan hidup, membaiknya layanan kesehatan, dan naiknya derajat kesejahteraan membuat jumlah lansia bertambah. Namun, lansia identik penurunan fungsi hidup yang bisa membuat lansia jadi beban. “Indonesia belum siap hadapi lonjakan lansia,” ujar peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI), Dwini Handayani, seusai Diseminasi Hasil Penelitian Pusat Peneliuan dan Pengembangan Kependudukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionaJ (Pusdu BKKBN) di Jakarta, Rabu (22/2).
Ketidaksiapan itu tercermin dari rendahnya anggaran, program terbatas, dan pembangunan infrastruktur belum ramah lansia. Itu adalah buah dari kurang terperhatikannya lansia oleh pemerintah pusat dan daerah. Hal itu menjadikan lansia sebagai beban baru bagi bangsa pada masa depan karena kurang produktif, kerap sakit, dan tanpa jaminan kesejahteraan memadai. “Pembangunan fokus ke warga usia produktif agar siap jadi lansia dan bonus demografl termanfaatkan,” ucap Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian. dan Pengemhangan BKKBN Sanjoyo.
Terabaikannya hak lansia membuat kesejahteraannya rendah. Survei Angkatan Kerja Nasional 2014 menunjukkan 47,48 persen lansia bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup karena desakan ekonomi atau menjadi tempat bergantung anggota keluarganya. Lansia sebaiknya tetap diberi kesempatan bekerja untuk aktualisasi diri dan kesehatan emosinya. “Sebagian besar lansia yang bekerja umumnya berpendidikan rendah.” kata peneliti Pusdu BKKBN Arga Nugraha menambahkan lansia kebanyakan bekerja di sektor informal yang jaminan kesejahteraannya lebih rendah.