RAB.com (JAKARTA): Ada orang tua yang menganggap anak mesti dihukum setimpal sesuai dengan perbuatan saat mem-bully temannya, ia harus merasakan di-bully. Tapi saat tahu pentingnya perilaku sebagai kunci, seorang psikolog menyarankan untuk menghindari memberi hukuman yang akan mengancam atau merendahkan anak, seperti berbicara keras padanya.
“Kadang orangtua sangat meyakini anaknya perlu mengalami betapa buruk rasanya saat di-bully, untuk merasakan betapa pahit obat yang harus ditelannya. Namun saat ketakutan hanya mengendalikan perilaku dalam jangka pendek, hal itu tak akan mengubahnya,” kata Joanne Cummings, psikolog dan direktur PREVNet, satu organisasi nasional Kanada yang didedikasikan untuk menghentikan bullying
Orangtua, lanjut Cummings, sebaiknya memilih satu konsekuensi yang lebih logis sehubungan dengan hukuman atas perilaku agresif itu. Jika anak anda melukai dan mengancam temannya, papar dia, batalkan izin untuk bermain. Atau ketika ia memukul temannya, katanya seperti dikutip situs Today’s Parent akhir Januari lalu, dia harus dijauhkan atau dilarang untuk bertemu selama beberapa waktu.
Bullying dapat menjadi siklus yang berbahaya, kata Cummings. “Jika terus berlangsung tanpa kendali, hal itu dapat membuat si anak yang melakukannya merasa tak ada masalah untuk makin merasa berkuasa.” Karena itulah, lanjutnya, kenapa keterlibatan orang dewasa menjadi penting untuk memberikan konsekuensi dalam bahkan dan minta kepadanya untuk minta maaf.
“Ini mengajarkan kepada anak bahwa penting untuk bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan dan memberi penggantian saat melukai atau menyinggung seseorang. Peringatkan dia bahwa bila di waktu selanjutnya dia berperilaku begitu, dia harus menghentikannya,” kata Cummings menambahkan orangtua yang tak percaya anaknya melakukan bullying merupakan reaksi spontan yang biasa terjadi saat berusaha memahami perilakunya.
Cummings mendefinisikan bullying sebagai “perilaku agresif dalam satu interaksi yang mana satu anak lebih berkuasa atas anak yang lain,” dan biasanya mewujud dalam tiga bentuk: fisik, seperti mendorong dan memukul; verbal, seperti membentak, mengolok-olok nama panggilan, dan mengancam; serta sosial, seperti meninggalkan, menyebar gosip dan mengajak anak lain untuk mengucilkan seseorang.
Orangtua sering tidak menyangka bahwa anaknya berperilaku menyerang anak lainnya. Namun riset Public Health Agency of Canada menunjukkan bahwa pada 2010, 53 persen siswa kelas enam hingga 10 melaporkan telah di-bully. Penelitian lain pada usia lebih muda, yang dipublikasi di Canadian Journal of School Psychology, menemukan bahwa di kelas satu hingga enam, bullying terjadi di sekolah tiap tujuh menit.
“Banyak anak melakukan bullying pada berbagai kesempatan. Mereka terlibat dalam menggunakan kekuatan secara agresif atau menyerang anak lain dalam berbagai tingkatan perilaku,” kata Debra Pepler, satu profesor psikologi York University di Toronto yang terlibat dalam penelitian yang terakhir.
Cummings mengatakan normal bagi orangtua merasa malu dan bersalah saat menemukan bahwa anaknya sudah mem-bully anak lain. Tapi, menurut dia, sangat membantu untuk paham bahwa belajar bagaimana berperilaku dalam berbagai situasi sosial adalah salah satu hal tersulit bagi anak.
“Mirip saat bagaimana sebagian anak berjuang keras untuk bisa membaca dan kita memberikan dukungan ekstra, sebagian anak lainnya berjuang keras secara sosial dan juga memerlukan dukungan ekstra,” tandas dia seraya menyarankan agar berhenti menyalahkan diri sendiri.
Sebelum menyalahkan anak, pastikan si kecil tidak meniru perbuatan Anda. Cummings mengingatkan para orang tua untuk berintrospeksi tentang kebiasaan mereka. Seperti apakah Anda membanting pintu ketika marah, atau berbicara dengan nada tinggi atau mengejek pasangan ketika kesal. Jangan sampai, hal negatif ini dianggap wajar dan akhirnya ditiru oleh anak.