RAB.com (JAKARTA): Populasi anak-anak dan remaja yang kegemukan atau obesitas naik 10 kali lipat dalam empat dasawarsa terakhir. Kondisi tersebut telah menjadi krisis kesehatan global yang mengancam akan bertambah parah kecuali tindakan drastis dilakukan.
Demikian laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Rabu 11 Oktober 2017. Dalam kesempatan Hari Kegemukan Dunia, WHO dan Imperial College London merilis studi terkini mereka mengenai kegemukan pada anak-anak dan remaja di seluruh dunia, yang dipublikasikan di jurnal medis Lancet.
Badan kesehatan dunia tersebut menganalisis ukuran berat dan tinggi dari hampir 130 juta orang yang berusia di atas lima tahun, termasuk 31,5 juta yang berusia lima sampai 19 tahun dan 97,4 juta yang berusia 20 tahun dan lebih, sehingga menjadikannya jumlah peserta paling banyak yang pernah terlibat dalam studi epidemiologi.
WHO mencatat lebih dari 1.000 kontributor ikut dalam studi tersebut, yang meneliti indeks massa tubuh (BMI) dan bagaimana kegemukan telah berubah di seluruh dunia dari 1975 sampai 2016. Total jumlah anak dan remaja berusia lima sampai 19 tahun yang kegemukan naik lebih dari 10 kali lipat secara global, dari 11 juta pada 1975 jadi 124 juta pada 2016.
Jumlah itu memperlihatkan bahwa angka obesitas pada anak-anak dan remaja di dunia naik dari kurang satu persen (5 juta anak perempuan dan 6 juta anak lelaki) pada 1975 menjadi hampir enam persen anak perempuan (50 juta) dan hampir delapan persen anak lelaki (74 juta) pada 2016.
Sementara itu, sebanyak 213 juta anak lagi kelebihan berat pada 2016 tapi berada jauh di bawah ambang batas kegemukan. “Kecenderungan yang mengkhawatirkan ini mencerminkan dampak dari pemasaran makanan dan kebijakan di seluruh dunia,” kata Profesor Majid Ezzati dari School of Public Health di Imperial College London, yang menjadi penulis utama studi tersebut.
Kondisi Indonesia
Menurut penelitian dokter Emy Huriyati dari Departemen Ilmu Gizi dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, sekitar 30 persen orang Indonesia kini mengalami obesitas. Di kalangan remaja dan anak-anak, angkanya mencapai 10 persen dari populasi dan dikhawatirkan terus meningkat.
Obesitas terus meningkat, menurut Emy, karena pola konsumsi yang tidak sehat. Di Indonesia, anak-anak dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke ataslah yang mengalami ini, karena kemudahan mengakses berbagai jenis makanan. Orangtua cenderung ingin anaknya banyak makan, dan memilih jenis-jenis makanan berkalori tinggi.
Jenis makanan cepat saji juga demikian populer dan digemari anak-anak, termasuk menu-menu yang mengandung gula tinggi. Pada saat bersamaan, anak-anak terutama di perkotaan mulai kekurangan aktivitas fisik, karena meningkatnya hobi bermain games. Tetapi, kata dia seperti dikutip voaindonesia.com pada April 2016, di kelompok remaja ini (usia siswa SMA) bukan hanya masalah obesitas, karena tekanan darahnya juga mulai naik.
“Karena memang penelitian saya dilakukan terhadap anak-anak SD, SMP dan SMA, pada remaja sudah mulai bermasalah karena pola hidupnya, tidak seperti kita dulu yang banyak berlari-lari. Sekarang anak-anak kebanyakan bermain gadget,” ujar Emy. Gejala tekanan darah tinggi pada kalangan remaja, lanjutnya, merupakan dampak ikutan dari obesitas, konsumsi garam berlebih, tingkat stres tinggi, dan kurangnya aktivitas fisik.
Menurutnya tidak mengherankan apabila kini, berbagai penyakit seperti gula dan jantung sudah ditemukan pada kelompok usia 30-an tahun. Fenomena ini menurut Emy, terjadi karena sebenarnya faktor pemicunya telah dirintis dan ditabung sejak usia anak-anak. “Kalau di usia anak saja sudah ada kelainan, maka sepuluh atau dua puluh tahun lagi akan terjadi. Dulu yang namanya diabetes itu penderitanya umur 45 atau 50-an, sekarang yang baru 30 sudah banyak ditemukan,” tambahnya.
Indonesia masuk dalam urutan ke-10 sebagai negara dengan jumlah orang obesitas terbanyak di dunia. Meski begitu, menurut dr. Emy, obesitas belum menjadi persoalan kesehatan yang memperoleh perhatian cukup di Indonesia. Padahal, dampaknya pada kesehatan di masa depan akan sangat mengkhawatirkan.
Data Riskesnas
Data Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) tahun 2016 juga menunjukkan penduduk Indonesia yang mengalami obesitas kini semakin banyak. Penduduk dewasa berusia diatas 18 tahun yang mengalami kegemukan atau obesitas sebesar 20,7 persen.
Angka itu menunjukkan peningkatan pesat dari tahun 2013 ketika penduduk yang kegemukan mencapai 15,4 persen.
Kajian Global Burden of Diseases yang dipublikasikan jurnal Lancet pada 2014 mengungkapkan ada 10 negara dengan tingkat obesitas tertinggi di dunia dan Indonesia berada di peringkat 10. Padahal, obesitas rentan mengundang penyakit berbahaya. Beberapa resiko dari obesitas itu adalah diabetes atau tekanan darah tinggi dimana keduanya merupakan penyebab utama gagal ginjal.
Manajer Riset dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), Dr. Budi Wiweko mengatakan salah satu pemicu terjadinya obesitas dalam masyarakat Indonesia saat ini adalah pola konsumsi makanan dan minuman manis. Konsumsi makanan dan minuman manis menjadi sulit dihindari karena banyak tersedia di pasaran dan mudah diakses warga.
“Pola konsumsi masyarakat Indonesia saat ini mirip dengan masyarakat Amerika 20 tahun yang lalu. Pada saat itu, makanan cepat saji dan minuman bersoda sangat populer,” katanya di Jakarta, Kamis (2/3). Untuk menghindari obesitas, lanjut Budi, hal yang mutlak harus dilakukan adalah mengurangi konsumsi makanan dan minuman manis.
Selain itu, bagi pihak pemerintah, perlu segera dibuat peraturan yang membatasi kadar gula dalam makanan dan minuman yang diproduksi oleh industri. Sebab, tanpa peraturan itu, pengusaha akan terus memproduksi makanan dan minuman dengan kadar gula tidak aman.
Dan hal itu akan “menggoda” masyarakat untuk terus mengkonsumsi makanan dan minuman manis. “Tapi memang bagi pemerintah tidak mudah membuat peraturan itu karena berhadapan dengan pihak pemilik modal yang berkepentingan,” ujar Budi.
Perlu tindakan drastis
Studi WHO juga meramalkan bahwa jika kecenderungan itu berlanjut, sampai 2020 angka kegemukan pada anak-anak dan remaja di seluruh dunia akan melampaui jumlah anak yang kekurangan berat –baik secara sedang maupun parah– dari usia yang sama.
“Data ini menyoroti, mengingatkan dan kembali memperkuat bahwa kelebihan berat dan obesitas adalah krisis kesehatan global hari ini, dan mengancam akan bertambah parah dalam beberapa tahun ke depan kecuali kita mulai melakukan tindakan drastis,” kata Dr. Fiona Bull, Koordinator Program bagi pengawasan dan pencegahan penyakit tak menular yang berlandaskan populasi di WHO.
Makanan bergizi yang sehat menjadi terlalu mahal buat masyarakat dan keluarga miskin, katanya. Ia mendesak ketersediaan lebih banyak makanan jenis itu di rumah dan sekolah, terutama pada masyarakat dan keluarga miskin.
Ezzati juga menyarankan agar peraturan dan pajak untuk melindungi anak-anak dari makanan tidak sehat diberlakukan, atau generasi masa depan anak-anak dan remaja yang tumbuh kegemukan akan menghadapi risiko lebih besar untuk terserang penyakit, seperti diabetes.
Selain penyelesaian tersebut, WHO menyiarkan ringkasan dokumen Ending Childhood Obesity Implementation Plan, yang menawarkan kepada semua negara panduan jelas guna mencegah kegemukan pada anak-anak dan remaja.
Hal teratas dalam panduan WHO ialah peningkatan asupan makanan sehat dan keaktifan fisik, lalu diikuti oleh perawatan kehamilan, makanan dini masa anak-anak dan kegiatan fisik, kesehatan dan gizi buat anak usia sekolah, dan penanganan berat badan.
Secara khusus, untuk mengurangi atau mencegah obesitas, semua negara mesti punya pencegahan. Yaitu, pertama, mengurangi konsumsi makanan murah yang diproses secara berlebihan, juga makanan yang memiliki kalori berlebihan dan miskin gizi.
Kedua adalah mengurangi waktu yang dihabiskan anak-anak pada kegiatan santai yang tak bergerak dan berlandaskan layar. Ketiga mendorong keikutsertaan yang lebih besar pada kegiatan fisik melalui olah raga dan rekreasi aktif,” demikian Fiona.