RAB.com (JAKARTA): Gedung utama Kejaksaan Agung (Kejagung) di jalan Hasanuddin, Jakarta Selatan, nyaris hangus seluruhnya dalam kebakaran yang berlangsung selama hampir 12 jam. Kebakaran sejak Sabtu sekitar pukul 19.15 yang konon berawal dari lantai 6 itu meludeskan lantai 3 dan 4 yang merupakan ruang intelijen. Demikian pula dengan ruang kerja pimpinan Kejagung termasuk ruang kerja Jaksa Agung dan para Jaksa Agung Muda.
Kemungkinan penyebab kebakaran sejak korsleting listrik atau sebab lain atau sengaja dibakar alias sabotase masih dalam penyelidikan tim gabungan polisi dan kejaksaan. Yang jelas kebakaran terjadi saat Kejagung tengah membongkar beberapa kasus besar. Kasus terakhir yang tengah disorot melibatkan konglomerat Djoko Soegiarto Tjandra dan korupsi di Jiwasraya yang melenyapkan dana miliaran milik nasabah dan berisiko merugikan pemerintah senilai triliunan rupiah.
Joker, sebutan Djoko Tjandra, sudah ditetapkan secara hukum inkrah untuk dipenjara dalam kemelut kasus hak tagih Bank Bali. Beberapa saat sebelum putusan pengadilan dieksekusi, Joker terbang ke Papua Nugini dan jadi buron sejak 11 tahun lalu. Beberapa saat belakangan dia melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung (MA) dan sempat masuk ke Indonesia beberapa kali dengan bantuan pengacara, oknum jaksa, oknum polisi, oknum imigrasi, dan pegawai MA.
Dengan uangnya yang berlimpah dia membeli segala fasilitas yang memungkinkan wara-wiri dengan pesawat jet sewaan masuk dan keluar Indonesia dari Malaysia–tempatnya kini bermukim–tanpa diketahui dan ditangkap aparat berwenang. Padahal sebelumnya dia jelas masuk red notice Interpol yang belakangan sudah berhasil dihapus dari list berkat bantuan dua jenderal polisi yang diduga menerima suap.
Dalam kondisi menghadapi kasus besar Djoko Tjandra dan kasus besar lainnya yang sedang diselidiki, disidik, dan sedang digelar persidangannya di pengadilan maka kebakaran dahsyat di malam long weekend ini sungguh sangat ironis. Bahwa gedung utama yang mestinya merupakan pusat komando penegak hukum ini tidak dijaga dengan semestinya sehingga tak terhindarkan kesan ada serangan frontal langsung menusuk jantung pertahanan salah satu unsur penegak hukum.
Yang juga memunculkan banyak pertanyaan di benak publik apakah arsip berkas dan file kasus-kasus yang sedang ditangani ini aman atau tidak. Bahkan Jaksa Agung pun hanya menyatakan yakin bahwa berkas-berkas tersebut aman, sementara Menko polhukam mengungkapkan keheranannya bahwa sesuatu yang aneh apabila berkas-berkas data digital penting itu hilang. Dis menambahkan bahwa mestinya ada file digital di database lain yang tersimpan di server di luar kantor yang terbakar.
Empat Pertanyaan
Sekali lagi memang harus menunggu apakah pernyataan Jaksa Agung dan Menko Polhukam itu memang ada kebenarannya atau memang ada kemungkinan berkas-berkas itu, juga file digitalnya, musnah menjadi abu bersama kobaran api. Menko Polhukam menambahkan bahwa terkait dua kasus besar tersebut tak ada kepentingan pemerintah untuk menutupi sesuatu. Tapi meski begitu masih tetap ada pertanyaan bagaimana dengan file kasus lain yang tengah ditangani Kejagung.
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan sedikitnya ada empat pertanyaan yang perlu dijawab terkait kebakaran yang terjadi. Pertama, mengapa sampai terjadi kebakaran begitu hebat di hari libur. Apakah sudah ada protokol keamanan dan keselamatan yang mestinya diberlakukan dalam rangka mengatasi terjadinya risiko kebakaran yang sekecil apapun berakibat fatal dan akhirnya mempengaruhi proses penegakan hukum yang sedang ditangani.
Hal kedua adalah soal sistem back up data-nya yang mestinya sudah dilakukan juga dengan server yang aman dan ada di luar gedung kantor yang terbakar. Sudahkah ini memang jadi bagian dari analisis dan manajemen risiko Kejagung sebagai langkah antisipasi dan upaya mitigasi karena dalam beberapa kasus kebakaran sangat jelas berdampak menghancurkan apa yang ada di gedung karena kebakaran begitu hebat termasuk menghanguskan komputer dan hardisk-nya.
Hal ketiga sulitnya meredam kesan berlangsungnya perang diam-diam yang terjadi secara frontal entah akibat perlawanan balik oleh koruptor atau pihak lain yang merasa dirugikan atau terancam dengan penyelidikan, penyidikan, dan digelarnya persidangan di pengadilan pada beberapa kasus besar yang sedang berjalan. Tak bisa dinafikkan peran aparat penegak hukum sendiri yang dalam sejumlah kasus terbutki telah mengkhianati sumpah jabatannya sendiri dengan menjadi kaki tangan para pelanggar hukum.
Bisa disebut kebakaran beberapa kantor penting seperti Bank Indonesia menjelang krisis 1998, maupun kebakaran hebat beberapa tahun lalu juga di fasilitas gedung BI yang konon terkait erat dengan upaya menghalangi pengusutan skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Ditambah sejumlah kasus kebakaran di gedung lembaga atau kantor instansi yang sedang berkasus, sering tidak jelas bagi publik apa efeknya pada keberadaan berkas data digital dan back up-nya apakah terselamatkan atau turut musnah terbakar.
Sebagian pengamat sudah menengarai adanya dugaan sabotase dalam rangka teror ini. Tidak saja teror kepada aparat hukum, tapi juga langsung-tidak langsung terarah pada pemerintah yang sah karena jelas dampaknya ingin menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat.
Lukai Kepercayaan
Skala serangan begitu besar dengan dampak fatal yang tidak mustahil bisa terjadi saat melihat aksi terkoordinasi pengajuan PK yang melibatkan hampir seluruh unsur penegak hukum dengan gelontoran biaya yang untuk sogokannya saja konon mencapai ratusan miliar. Jumlah luar biasa yang didapat berdasarkan penyelidikan polisi yang sudah berkembang sejauh ini seperti dilaporkan Majalah Tempo edisi 24-30 Agustus 2020.
Keempat adalah ketidaksepahaman langkah diantara aparat kejaksaan sendiri yang kemungkinan besar ada dalam beberapa kubu terkait pro-kontra penanganan berbagai kasus besar sekarang ini, termasuk yang melibatkan oknum partai politik. Mungkin dugaan ini agak prematur. Tapi jelas bukan sesuatu yang mustahil banyak pihak yang dengan gembira menyaksikan luluh lantaknya gedung dan terutama isinya yang bisa membebaskan, atau setidaknya mempersulit, mereka dari upaya dan sanksi hukum.
Dari kasus Djoko Tjandra terlihat bahwa aparat kejaksaan sendiri yang aktif bermain yang tentu saja tidak berhenti pada jaksa Pinangki yang sepertinya hanya pion yang dikorbankan. Diduga ada peran oknum pimpinan yang punya kekuasaan lebih besar untuk bisa menjalankan operasi sepenting itu. Yang kalau mengacu pada oknum dua jenderal polisi yang sudah ditindak dan dipidanakan mestinya ada pula jaksa di level pimpinan puncak yang terlibat.
Jadi banyak faktor dan rangkaian kejadian yang membuat adanya dugaan yang logis bahwa kebakaran ini diduga bukan sesuatu yang terjadi begitu saja atau peristiwa bencana biasa. Semuanya masih tergantung pada penyelidikan aparat berwenang, baik internal maupun eksternal kejaksaan, untuk bisa membuka seperti apa rangkaian peristiwa sebenarnya yang terjadi di balik kebakaran hebat pada malam akhir pekan lalu.
Yang pasti kebakaran ini secara tidak langsung kembali sudah melukai kepercayaan masyarakat terhadap kesungguhan aparat hukum untuk menjalankan tugasnya dalam rangka menjaga dan memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak. Pulihkan kepercayaa tersebut dengan prinsip bagaimana hasil penyelidikan polisi dan kejaksaan dalam langkah selanjutnya bisa menjawab setidaknya empat hal yang sudah dipaparkan di atas.
Sekali lagi tidak mustahil bahwa kebakaran tersebut merupakan sabotase atau serangan frontal yang dilakukan oleh para pihak yang dirugikan oleh langkah-langkah yang dilakukan Kejagung. Kini ditunggu pelaksanaan niat dari pemerintah untuk tetap serius dan transparan dalam menangani perkara-perkara besar yang melibatkan banyak orang berduit dan punya kekuasaan. Termasuk dalam agenda ke depan mestinya sudah memasukkan analisis dan manjemen risiko yang layak agar kejadian sama tak terulang lagi.