Kejanggalan Kesaksian Ketua MUI dan Kebenarannya

mui

RAB.com (JAKARTA): Kejanggalan kesaksian Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan kebenarannya seperti jadi sibakan tabir yang bak simalakama. Bagaimana tidak ternyata kesaksian Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin yang ulama terkemuka dan mestinya menjunjung tinggi kebenaran ternyata banyak diragukan bahkan akan dilaporkan ke polisi karena dianggap kesaksian palsu terkait kasus penodaan agama gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Sebenarnya proses pengadilan sendiri jelas sudah memerosotkan wibawa Sang Ketua Umum karena kata-katanya yang biasanya tak dipertanyakan umat sekarang jadi konsumsi dan disangsikan publik. Untung dampaknya agak teredam karena tidak ada siaran langsung ala persidangan kopi bersianida Jesicca, meskipun bukan hal sulit untuk browsing dan menyatukan kepingan-kepingan tentang apa yang dicecarkan pada Sang Ketua Umum selama sekitar 7 jam persidangan.

Kesaksian pada sidang ke delapan Selasa (31/1) kemarin di auditorium Kompleks Deptan Ragunan ini termasuk paling lama daripada kesaksian lainnya. Meskipun sebenarnya tak mengherankan juga karena gara-gara sikap/pendapat keagamaan yang ditandatangani Sang Ketua Umum inilah Republik Indonesia sempat gonjang-ganjing akhir tahun lalu. Sikap keagamaan yang levelnya di atas fatwa ini membuat banyak umat Islam jadi tergerak membela agamanya sampai beberapa kali.

Dari hasil persidangan terungkap adanya sejumlah kejanggalan tentang bagaimana dan latar belakang sikap keagamaan itu muncul. Pertama terkait keberadaan sikap/pendapat keagamaan itu sendiri yang ternyata diketahui baru sekali ini lahir dalam waktu yang relatif singkat. Padahal bila levelnya daerah MUI DKI Jakarta sebenarnya telah memberikan teguran kepada Ahok yang diduga menodai agama karena mengucapkan kalimat ” … dibohongi pakai surat …”.

Salah satu kuasa hukum Ahok, Humprey Djemat mengatakan pada 9 Oktober 2016 MUI DKI Jakarta telah memberikan teguran kepada Ahok mengenai isi pidatonya itu. Namun baru dua hari sejak surat teguran itu dikeluarkan, MUI pusat langsung mengeluarkan sikap keagamaan sebelum melakukan tabayyun atau minta penjelasan ke Ahok. “Ini pertama kali sikap keagamaan dikeluarkan MUI.”

Kejanggalan kedua adalah dugaan adanya komunikasi antara Ma’ruf Amin dengan presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Humprey, ada yang janggal dari keterangan Ma’ruf dalam persidangan yang menyangkal komunikasi itu dan menyatakan sikap keagamaan tak ada hubungannya dengan pemilihan kepala daerah (pilkada). “Kita punya dugaan bahwa ini punya satu perencanaan yang sedemikian rupa yang muncul di pengadilan sedikit demi sedikit.”

Ma’ruf menutupi latar belakangnya yang pernah menjadi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ahok mengatakan, pengacaranya memiliki bukti tentang adanya telepon dari SBY kepada Ma’ruf agar Ma’ruf bertemu dengan Agus-Sylviana. Namun, Ma’ruf membantah adanya telepon itu.

Ketiga adalah keterangan dari Ma’ruf yang menyatakan telah melakukan penelitian di Kepulauan Seribu mengenai pidato Ahok. Ma’ruf tidak menyebutkan identitas warga Kepulauan Seribu yang merasa dirugikan. “Padahal tim kuasa hukum telah mengecek kebenaran soal itu. Namun, tak ada warga Kepulauan Seribu yang mengaku telah melapor ke MUI soal pidato Ahok.”

Kejanggalan selanjutnya, kata Humprey, dalam rapat pengambilan keputusan fatwa itu, MUI hanya melibatkan empat komisi dari 12 komisi yang ada di MUI. Atas dasar itu, Humprey mempertanyakan apakah keputusan tersebut kuorum atau tidak. “Dari yang dilibatkan hanya empat (komisi) saja enggak jelas suasana pembahasannya. Apalagi juga tidak jelas jawabannya soal ada tidaknya notulen saat MUI menggelar rapat,” ujarnya.

Kejanggalan berikutnya adalah saat tim kuasa hukum Ahok bertanya apakah GNPF (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa) juga menjaga fatwa MUI yang lain selain terkait ucapan Gubernur non-aktif DKI Jakarta. Ma’ruf hanya menjawab seingat dia GNPF baru ada sekarang. “Saya tidak tahu apakah GNPF ada karena Pak Basuki, tapi yang saya tahu karena saat itu belum diproses (hukum).”

Hikmah yang dapat diambil dari pencecaran di sidang pengadilan tentu saja adalah saat ini dan selanjutnya sudah bukan masanya lagi bermain kekuasaan dengan cara slintat-slintut di ruang tertutup. Sudah bukan masanya lagi melayani pesanan demi kepentingan pihak tertentu dengan mengorbankan kedamaian masyarakat. Apalagi cuma demi imbalan uang atau janji politik kalau pihak pemesan menang dengan membawa-bawa agama.

Ihwal rawan penyalahgunaan kekuasaan yang kegagalannya merupakan keniscayaan karena era teknologi sudah begitu canggih dan orang bisa mengungkapkan pendapat saat tak setuju. Apalagi saat terkait dengan kontestasi bahkan pertempuran politik saat para pihak yang bersaing saling mencari kelemahan dalam upaya bertahan dan menang.

Juga sebaiknya tokoh publik pada jabatan strategis mestinya amanah, tidak terlalu lugu dan naif, serta memperhitungkan dengan matang manfaat dan mudharat terkait dampak dari satu keputusan yang akan diambil. Bahkan bila perlu memang harus berkomunikasi dengan aparat terkait mengingat adanya risiko terkurasnya energi bangsa sehingga persoalan lain yang mungkin lebih penting dan harus diberi perhatian selayaknya jadi terabaikan dan terbengkalai.