RAB.com (JAKARTA): Prof Mahfud MD menyebut banyak orang yang tak paham dengan arti ‘habib’. Menurut Mahfud, tak semua orang yang dipanggil habib merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW.
“Banyak orang tak paham arti habib. Habib itu sebutan hormat dan sayang kepada seseorang. Misal kepada rektor, menteri, dirut PJKA. Tak semua yang dipanggil habib keturunan Nabi. Keturunan Nabi sebutannya ada dua, yaitu: Syarif/Syarifah (jalur Hasan) dan kedua, Sayyid/Sayyidah (jalur Husein),” tulis Mahfud dalam akun Twitter resminya, @mohmahfudmd, Kamis (20/12)
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menegaskan banyak orang yang merasa paling tahu terkait arti habib, sehingga menyalahkan orang lain. Mahfud lantas mencontohkan sebutan habib yang ditujukan kepada mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.
“Banyak yang sok tahu saja tentang arti habib, lalu menyalahkan orang yang tahu. Habib itu kira-kira artinya Yang Terhormat atau Tuan, seperti Tuan Hamid. Nazaruddin yang bendahara Partai Demokrat itu dulu dipanggil habib oleh orang-orang Pasuruan. Sekali lagi, yang dipanggil habib itu belum tentu keturunan Nabi,” imbuh Mahfud seperti dikutip detik.com.
Habib yang bentuk jamaknya (pluralnya) habaib, adalah sosok unik. Di kalangan tertentu, khususnya warga Nahdliyin, orang yang terlahir denga nasab “habib” sangat dihormati. Ia termasuk dzuriyat. Keturunan Rasulullah. Di Al Qur’an Surat Al-Ahzab 33 , misalnya, tertera: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Kata ahlul bait dalam Al-Ahzab 33 ini multitafsir. Siapa sesungguhnya ahlul bait? Apakah orang seperti Habib Bahar yang menyatakan “Jokowi pengkhianat bangsa dan banci” itu masuk katagori ahlul bait? Juga, apakah Habib Riziq yang nasibnya seperti lagu Bang Thoyib juga masuk dalam kategori ahlul bait?
Sejarah
Menurut mantan redaktur opini Harian Republika Simon Syaefudin kilas balik sejarah habib bermula dari pasangan suami istri Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Sayidah Fathimah binti Rasulullah. Keturunan Rasulullah yang disebut dzuriyat ini berasal dari anak cucu cicit buyut Fathimah dan Ali. Pasangan ini mempunyai dua putra, Hasan dan Husein. Rasulullah sangat menyayangi kedua cucunya ini. Rasul bersabda: Siapa yang menyayangi Hasan dan Husein, sama dengan menyayangiku. Siapa yang membencinya, sama dengan membenciku. Rasul juga bersabda, sepeninggalku, Hasan dan Husein adalah penerusku. Sayang, Husein meninggal di usia muda. Dibunuh oleh Yazid, putra Muawaiyah di Karbala.
Setelah ratusan tahun berlalu, klan ini telah beranak pinak dan tersebar ke berbagai wilayah, mulai Jazirah Arab, Eropa, India, sampai Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dari Jazirah Arab, keturunan habaib ini berdiaspora. Lalu kawin mawin di tempat barunya. Seperti di Yaman, India, Persia, Aceh, dan Jawa. Pria habib jika menikah dengan wanita domestik, anak lelaki dan perempuannya tetap bergelar habib dan syarifah. Jika gennya lebih dominan ras Arab, maka anak turunanya masih terlihat Arab. Hidung mancung, berbulu, dan tinggi. Kadang kulitnya putih, kadang hitam. Habib dari Yaman umumnya berkulit hitam. Anak turunanya juga hitam. Jika nikah dengan wanita Indonesia yang hidungnya pesek, jadilah sang habib itu kulitnya hitam, pendek, dan hidungnya pesek. Tak ada mirip-miripnya dengan ras Arab atau Semit.
Karena itu, kata Simon, jangan kaget kalau ada “tampang boyolali” ngaku sebagai habib. Itu habib blasteran. Tapi dengan kondisi seperti itu pula, banyak orang yang ngaku-ngaku habib, padahal tak ada riwayat genetik kehabiban. “Supaya terlihat habib, ya cara berbusananya dibeda-bedain. Pakai udeng-udeng kepala, sorban, dan syal. Biar kelihatan seperti habib.”
Ada juga habib yang ganteng dan cantik lo! Ini mungkin keturunan Arab kulit putih, nikah dengan wanita Persia yang cantik, datang ke Indonesia lalu nikah dengan orang Menado atau Palembang yang kulitnya kuning. Jadilah keturunannya habib dan syarifah yang ganteng dan cantik. Contohnya, Arumi Bachsin. Sampai ibu-ibu di Jatim rebutan foto bareng Arumi waktu kampanye Pilkada Jatim. Dan suaminya, Pak Dardak, kemudian menang. Jadi Wagub Jatim. Berkat Syarifah Arumi Bachsin.
Syarifah cantik seperti Arumi Bachsin atau Syafa Illiyin (yang ini teman akrabku asal Suroboyo, jandanya almarhum Ahmad Taufik, pendiri AJI) tak pernah menyebut-nyebut dirinya keturunan Rasul. Sudah cantik, ngapain ngaku-ngaku syarifah. Tanpa gelar syarifah pun, wanita cantik seperti Arumi Bachsin dan Shafa Illiyin sudah jadi rebutan pria.
Pernahkah Najwa Shihab yang cantik itu mengaku-ngaku syarifah? Gak pernah. Padahal, Najwa itu syarifah galur murni. Bapaknya, Prof. Quraish Shihab dan ibunya, keturunan Rasul. Jarang, habib galur murni seperti Prof. Quraish Sihab. Tapi anehnya Pak Quraish yang dzuriyat murni itu sering dimaki-maki oleh para habaib blasteran galur campuran.
“Konon, katanya, Pak Quraish itu Syiah. La, yang namanya habib galur murni ya logikanya dekat dengan ahlul bait. Dan ahlul bait itu ya syiah. Semua ahlul bait dengan 12 imam itu adalah syiah. Semua imam empat mazhab yang diakui kalangan Sunni (Imam Syafii, Maliki, hanafi, dan Hambali) adalah murid-muridnya ulama Syiah ahlul bait, Ja’far As-Shiddiq. So what next dengan Syiah?”
Karena privilise
Kenapa perlu mengaku habib? Ya, karena di sebagian masyarakat Islam, gelar habib adalah privilise. Khususnya di kalangan NU dan jamaah majlis zikir. Habaib punya tempat tersendiri. Jalan umum menuju panggung majlis dzikir, misalnya, antara orang awam dan habaib beda. Habaib jalannya pakai karpet merah atau hijau. Ente yang keturunan jawa kluthuk tak boleh jalan kaki di jalur habaib. Jadi jangan heran kalau para habaib paling suka bikin majlis dzikir. Lihat spanduk-spanduk di pingir jalan di Jakarta. Ada Majlis Zikir Al-Mustofa. Majlis Zikir Rasululah. Mazlis Zikir Al-Anbiya. Namanya melangit semua. Majlis dzikir memang tempat paling nyaman untuk para habaib. Ia aman secara politik, gampang secara intelektual (la wong hanya zikir), dan menyenangkan untuk kaum habaib.
Dari sekian banyak klan habaib ini, siapa saja yang masih termasuk ahlul bait yang “disucikan Allah” seperti tertulis dalam Al-Ahzab 33? Menurut Mazhab Syiah Itsna Asyariyah (mayoritas orang Syiah mengikuti mazhab ini), Ahlul Bait hanya terdiri dari 12 orang (imam). Urutannya: (1) Sayyidina Ali (Imam Ali), (2) Hasan bin Ali, (3) Husain binAli, (4) Ali bin Husain, (5) Muhammad Al-Baqir, (6) Ja’far As-Shidiq, (7) MusaAl-Kadzim, (8) Ali Ar-Ridha, (9) Muhammad Al-Jawad, (10) Ali Al-Hadi, (11) Hasan Al-Asykari, dan (12) Abu Al-Qasim (Imam Mahdi, Al-Ghaib). Kedudukan para imam ini memang tidak sama dengan nabi. Tapi mereka adalah pembawa pesan kenabian dan penafsir Quran dan hadist paling otoritatif. Jadi, imam-imam keturunan Rasulullah yang disucikan itu hanya sampai kepada Abu Al-Qasim. Tak nyampai pada para habaib Tanah Abang.
Dari ke-12 Imam ini, paling terkenal adalah Imam Mahdi. Di kalangan masyarakat Islam yang percaya messianism: kelak di akhir zaman akan datang Imam Mahdi dan Isa Al-Masih yang akan mengadili manusia dengan seadil-adilnya. Pandangan messianism ini berkembang di Jawa, khususnya di kalangan warga NU, sehingga Imam Mahdi kerap jadi bahan perbincangan. Dalam perkembangannya, kepercayaan messianic Syiah ini bercamur baur dengan kepercayaan messianic Kristen (Yesus akan datang di akhir zaman) dan messianic Kejawen (Ratu Adil versi Joyoboyo), sehingga muncullah, istilah Ratu Adil, Ratu Piningit, dan lain-lain. Yo priben meneh! Namanya juga akulturasi.
Orang-orang NU di Pondok Pesantren, saking hati-hatinya menafsirkan Al-Ahzab 33 dan hadist-hadist yang mensucikan kaum dzuriyat, kemudian mengambil sikap “menghormati klan habaib” tanpa reserve. Ada kisah menarik di Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo, Kediri. Kyai Marzuki (Almarhum), sesepuh Ponpes Lirboyo, pernah kedatangan tamu seorang menteri dari Jakarta. Saat itu, Kyai Marzuki sedang wirid. Beliau tak beranjak dari wiridnya, meski tamunya seorang pembesar negara. Sang menteri harus menunggu lama di emper masjid sampai Kyai Marzuki selesai wirid. Di mata Kyai Marzuki, pejabat negara tadi no body. Bukan siapa-siapa.
Tapi, suatu ketika, Kyai Marzuki sedang asyik wirid di masjid. Tiba-tiba datang seorang habib, masih anak-anak. Bocah lanang ini langsung menuju tempat wiridnya Kyai Marzuki. Ia memaksa Kyai Marzuki membelikan permen. Sang Kyai ini langsung mengikuti kemauan sang bocah. Kok begitu? Itulah salah satu bentuk penghormatan kepada dzuriyat! Di mata Kyai Marzuki, anak kecil itu some body. Bukan orang biasa. Keturunan Rasul.
Sikap hati-hati dan menghormati kaum dzuriyat dari para ulama NU inilah yang kemudian “termanfaatkan atau dimanfaatkan” oleh para habaib. Saya sering menyaksikan, di kampungku, Tegalgubug Cirebon, yang mayoritas alumni Ponpes Lirboyo, betapa “habib reseller minyak wangi” seringkali memaksa kyai dan santri Tegalgubug untuk membeli parfumnya. Karena ia habib, kyai dan santri pun terpaksa membeli minyak wangi dagangannya, meski harganya mahal. Untuk membahagiakan habib. Membeli dagangannya dapat berkah!—begitulah kira-kira cara berfikir santri Tegalgubug.
Rawan disalahgunakan
Simon menceritakan pengalaman menarik. Tahun 2000-an, waktu mengikuti sebuah kelompok pengajian dan menginap di sebuah vila di Puncak, malam-malam kedatangan tamu seorang habib. Sebut saja namanya Habib X. Di kartu namanya tertulis gelar doktor hadist. Dosen di sebuah perguruan tinggi Islam swasta di Surabaya. Dia menceramahi saya dan teman-teman tentang hebatnya dzuriyat. Bagaimana masyarakat Indonesia, mulai dari Aceh, Jawa, hingga Maluku menghormati para habaib ini. Pokoknya, habaib itu top abis. Tak ada duanya. Dia bilang raja-raja di Jawa dan Maluku semua keturunan habib. Kyai-kyai besar di Jawa keturunan habib. Di akhir pembicaraan saya ngomong nyleneh.
“Pemabok dan peminum, pemalak dan tukang catut di Tanah Abang, tak sedikit yang keturunan habib.” Ia kaget.
“Farah Aidid, diktator di Ethiopia juga habib. Pentolan PKI di Kalimantan, Fahrul Baragbah juga habib. Konon, ketua CC PKI, Aidit, itu juga habib.”
Marga Aidid atau Aidit sebagaimana marga Alatas, Baraghbah, Shihab, dan Alwi adalah marga habib. “Gimana anda melihatnya?,” tanya saya pada Habib X. Ia diam, tak berkutik. Tak berani lagi membangga-banggakan gelar habib. Belum lagi saya menunjukkan keturunan habib yang beragama Kristen di Spanyol yang jumlahnya cukup banyak akibat kawin mawin diaspora habib di Spanyol dengan penduduk setempat. Saat itu Islam berkuasa di sana. Tapi kemudian ditaklukkan kembali oleh Romawi dan kembali ke Kristen. Salah satunya adalah Steve Jobs, pendiri Apple.
Sebelum pulang dari vila tempat kami menginap, sang habib mengundang untuk berkunjung ke padepokannya di Cisarua. Ia janji akan memotong kambing. Wah seneng saya!
Hari Sabtu, sesuai undangannya, kami–kira-kira 30-an orang–memenuhi undangan Habib X. Ia memotong dua kambing. Kami pun makan daging kambing dengan senang hati. Tapi teman saya, Bu Umar dan Bu Murdi, tak mau makan daging kambing suguhan Habib X.
Sampai vila, Bu Umar dan Bu Murdi cerita. “Tahu nggak Simon, dari mana kambing yang dipotong habib untuk kita?” Saya menggelengkan kepala. “Itu kambing milik kita. Habib mengambil dari kandang pemeliharanya tanpa izin kita,” kata Bu Umur bersungut-sungut. “Habib X mana mau rugi motong kambing untuk kita,” ujar Bu Umar.
“Lalu, apa bedanya dengan mencuri?,” sergahnya.
“Kok gitu? Habib semprul,” ujar saya.
Pengajian kami saat itu memang memelihara kambing di sebuah kampung di dekat Cisarua. Yang memelihara orang desa setempat. Tujuannya, kalau ada acara tertentu, kambing itu dipotong. Tak perlu membeli. Rupanya si habib tahu kalau pengajian kami punya peliharaan kambing. Ia ambil dua kambing tanpa permisi. Dipotong lalu disuguhkan kepada kami. Tentu sisanya masih banyak, dimakan Habib X dan anak buahnya.
Dua ayat
Jadi, tandas Simon, Habib Bahar yang bilang Jokowi pengkhianat bangsa dan banci itu, kelasnya memang habib macam itu. Sekelas Habib X di Cisarua dan oknum habib pemabuk dari Tanah Abang tadi. Bahkan lebih rendah lagi. Tapi karena habib, ia diberi panggung juga. Untuk mengecoh publik di era politik.
“Jangan bandingkan Habib Bahar dengan Habib Lutfi Pekalongan. Yang terakhir ini benar-benar habib terhormat dan rujukan umat. Bicaranya halus, ilmunya dalam, dan menghormati setiap orang, apalagi kepada Jokowi. Sebab, bagaimanapun Jokowi adalah Presiden RI. Pejabat tertinggi di negeri ini.”
Lalu, apakah keturunan Nabi Muhmmad (yang secara kultural diberi gelar habib) itu begitu istimewa sehingga ia merasa suci dan disucikan Allah? Nanti dulu. Ada ayat Qur’an, Al-Kahfi 18, menyebutkan: “Sesungguhnya aku (Muhammad) ini menusia sepertimu. Lalu Allah juga berfirman: “Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. Al-Mudatstsir: 38).
Kedua ayat ini menekankan, bahwa menjadi muslim itu adalah sebuah upaya untuk mencapai kemandirian. Sebuah upaya untuk mengemban tanggungjawab pribadi. Makanya, menjadi muslim jangan membangga-banggakan keturunan. Jangan pula membangga-banggakan asal muasal.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. al-Hujurat: 13).
“Bertakwa itu artinya berbuat baik kepada orang lain dengan ikhlas dan menghormati sesama manusia tanpa reserve,” pungkas Simon.