Menonton TV Lebih dari 3 Jam Sehari Tingkatkan Risiko Diabetes Anak

Kurang bergerak menaikkan risiko terkena diabetes pada anak.
Kurang bergerak menaikkan risiko terkena diabetes pada anak.

RAB.com (JAKARTA): Menghabiskan waktu lebih dari 3 jam untuk menonton televisi, komputer atau sekadar bermain  video game, ternyata bisa memperbesar risiko anak terkena diabetes tipe 2. Risiko yang sama juga mengintai orang dewasa yang melakukan hal serupa.

“Terlalu banyak menonton berbahaya bagi kesehatan,” ujar peneliti dari Children’s Hospital of Eastern Ontario Research Institute, Mark Tremblay, seperti dilansir The Verge pekan lalu. Hal ini terungkap dari penelitian terbaru dari Inggris. Bahkan, studi yang dipublikasikan dalam jurnal Archieves of Disease in Childhood.

Kesimpulan ini peneliti dapatkan setelah menganalisis data hampir 4.500 anak-anak di Inggris berusia 9-10 tahun pada 2004-2007. Mereka menemukan kebanyakan anak-anak menghabiskan lebih dari 3 jam terpaku pada layar TV dan perangkat elektronik lainnya. Anak-anak yang terlalu banyak menonton juga memiliki jumlah lipatan kulit dan massa lemak lebih banyak–indikator total lemak tubuh dan leptin, yang merupakan hormon yang bertanggung jawab untuk nafsu makan.

“Mereka ini berpeluang 11 persen lebih tinggi mengalami kondisi yang disebut resistensi insulin, ketimbang anak-anak yang hanya duduk menonton layar kurang dari sejam per hari,” kata Tremblay. Resistensi insulin–kondisi otot, lemak, dan sel-sel hati tidak merespon dengan baik terhadap insulin (hormon yang mengontrol kadar gula dalam darah), merupakan faktor risiko diabetes tipe 2.

Di Amerika Serikat, data pada 2015 menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja berusia 13-18 tahun menghabiskan rata-rata sekitar sembilan jam per hari, duduk menonton televisi, bermain smartphone, dan komputer. Sementara mereka yang berusia 8- 12 tahun, rata-rata duduk sekitar 6 jam menatap layar.

Sejumlah studi sebelumnya telah menemukan bahwa semakin banyak yang kita habiskan duduk menonton berhubungan dengan meningkatnya indeks massa tubuh, terutama pada mereka yang berusia 9-16 tahun. Pada orang dewasa, kebiasaan tak sehat itu juga meningkatkan risiko terkena diabetes tipe 2.

Hanya saja, studi-studi ini memiliki beberapa keterbatasan yakni sebatas menunjukkan suatu hubungan, bukan hubungan kausalitas langsung antara waktu menonton dan diabetes. Kemudian, karena data yang peneliti kumpulkan dilakukan pada 2004 dan 2007, maka tidak menyertakan kebiasaan anak-anak menghabiskan waktu memainkan smartphone atau tablet.

Meningkat pesat di Indonesia

Namun, temuan studi ini menguatkan temuan sebelumnya bahwa menghabiskan banyak waktu terpaku pada layar bukan merupakan kebiasaan sehat, terutama untuk anak-anak.

Di Indonesia diabetes mellitus (DM) pada anak makin sering ditemukan seiring kemajuan ilmu kedokteran. Menurut situs idai.or.id tercatat kurang dari 100 kasus DM tipe-1 baru pada anak sebelum tahun 1980, namun jumlah ini lebih dari 1.000 kasus tahun 2014  (data PP IDAI tahun 2014). Peningkatan yang pesat terjadi karena meningkatnya ketelitian tenaga medis dalam mendeteksi kasus dan meningkatnya pengetahuan orangtua pasien tentang DM pada anak.

DM merupakan penyakit metabolik utama pada anak yang sifatnya kronik dan potensial mengganggu tumbuh kembang anak. Pada anak dikenal 2 jenis diabetes, yaitu DM tipe 1 dengan jumlah kadar insulin rendah akibat kerusakan sel beta pankreas, dan DM tipe 2 yang disebabkan oleh resistensi insulin, walaupun kadar insulin dalam darah normal. Faktor penyebab utama DM-tipe 1 adalah faktor genetik, sedangkan pada DM-tipe 2 biasanya disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat dan kegemukan.

Gejala klinis DM yang khas adalah anak cenderung banyak makan, sering buang air kecil, terkadang hingga mengompol disertai dengan penurunan berat badan yang drastis (bisa sampai 6 kg dalam 2 bulan). Gejala lainnya, seperti sering lapar, mudah lelah, infeksi jamur, luka yang sulit sembuh, penglihatan kabur, kulit yang sering terasa gatal-gatal dan kering, rasa kebal dan sering merasa kesemutan di kaki.

Namun, pada kenyataannya gejala-gejala tersebut tidak timbul jelas sehingga diagnosis DM sering terlewatkan. Tanpa gejala tersebut mungkin saja anak dapat mengalami ‘Kedaruratan DM’ dengan keluhan seperti nyeri perut, sesak napas, muntah berulang, dehidrasi, bahkan hingga penurunan kesadaran.