Menutup Alexis: Problematika Hukum dan Janji Kampanye Gubernur Anies

Tidak tutup Alexis, yang diminta adalah hentikan kegiatannya.
Tidak tutup, yang diminta adalah Alexis menghentikan kegiatannya.

RAB.com (JAKARTA): Alexis sungguh ditutup? Inilah janji kampanye yang sekarang kembali heboh jadi pembicaraan masyarakat, termasuk di media sosial. Terjadi pro-kontra tentang soal penutupan yang didasarkan pada laporan masyarakat dan berita di media massa. Padahal dengan tegas dalam konferensi persnya, pihak manajemen Alexis menyatakan tak pernah melanggar hukum.

Masalah problematis utama bagi Pemprov DKI Jakarta dalam agenda hebat membina moral masyarakat kali ini tampaknya terkait dengan masalah hukum. Faktanya penutupan suatu tempat atau usaha bukan istilah hukum. Belakangan baru keluar pernyataan dari Pemprov DKI bahwa izin sudah habis pada September 2017 dan tidak diizinkan diperpanjang.

Namun sebutan tidak diperpanjangnya izin juga menjadi agak kabur karena yang tertulis dalam surat penolakan adalah: “permohonan izin TDUP tersebut belum dapat diproses.” Soal ini tentu menjadi penting terkait kemungkinan perdebatan hukum apakah “belum dapat diproses” sama dengan menutup. Kalau Gubernur bilang izin dicabut dan karena itu semua kegiatan setelahnya tidak legal kemungkinan besar akan menuai gugatan hukum.

Kasus saat Gubernur Ahok menutup satu tempat hiburan malam mungkin bisa jadi referensi . Bukti pelanggaran sudah dipegang, diberikan peringatan sampai dua kali, dan lalu pada pelanggaran ketiga dikenai sanksi ditutup. Maksudnya benar-benar semua aspek operasionalnya berhenti karena memang sudah ada bukti dan peringatan lebih dulu yang tak bisa disangkal lagi.

Otomatis tidak legal

Gubernur Anies Baswedan mengatakan menolak permohonan daftar ulang tanda daftar usaha pariwisata (TDUP) Hotel dan Griya Pijat Alexis yang diajukan melalui website pelayanan.jakarta.go.id. Penolakan disebut sesuai Peraturan Gubernur (Pergub) No. 47/2017: Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi DKI Jakarta telah melakukan penelitian teknis/pengujian fisik terhadap permohonan itu.

“Otomatis, maka tidak punya izin lagi kemudian. Kan sudah habis, kemudian dengan begitu, tidak ada izin lagi, otomatis kegiatan di situ bukan kegiatan legal lagi. Kegiatan legal adalah kegiatan yang mendapatkan izin. Tanpa izin, maka semua kegiatan di situ bukan kegiatan legal,” kata Gubernur Anies.

Kepala DPMPTSP DKI Edy Junaedi menambahkan pihaknya juga melaksanakan Perda No. 6/2015 tentang Kepariwisataan untuk mengendalikan kegiatan negatif di masyarakat. Edy menegaskan pihaknya menolak permohonan izin Alexis untuk mencegah dampak yang tidak baik. Dengan dasar itu kepala DPMPTSP mengeluarkan surat tertanggal 27 Oktober 2017 bernomer 68661-1.858.8 yang menyatakan bahwa permohonan izin TDUP tersebut belum dapat diproses.

“Beberapa bulan belakangan ini, banyak sekali laporan masyarakat dan informasi di media massa yang mengangkat mengenai praktik prostitusi di Hotel Alexis. Tentunya hal tersebut menjadi catatan kami,” kata Edy yang meneken surat tersebut.

Tak pernah melanggar

Terkait sikap Pemprov DKI Jakarta belum dapat memproses izin TDUP yang diajukan Hotel Alexis dan Griya Pijat Alexis, Legal & Corporate Affair Alexis Group, Lina Novita, mengatakan pihaknya akan bertemu Pemprov DKI guna mendapatkan solusi. Dalam surat pernyataan yang dikutip detikcom disampaikan sembilan poin terkait masalah ini.

Salah satu poin penting menegaskan bahwa hingga kini di hotel dan griya pijat Alexis tidak pernah ditemukan pelanggaran, baik peredaran narkoba maupun kasus asusila. “Kami memohon bimbingan dan solusi dari Pemprov DKI Jakarta agar perizinan hotel dan tempat spa bisa diperpanjang. Diharapkan nasib para karyawan ikut dipikirkan, apalagi sebagian besar menjadi tulang punggung keluarga.”

Pada poin yang lain meminta masyarakat maupun media berhenti menghakimi pihak kami secara sepihak. Selama ini pihak kami merupakan salah satu pelaku usaha di kota Jakarta yang tidak pernah melakukan pelanggaran atau pun menerima sanksi terkait pelanggaran dalam bentuk apapun dari dinas terkait. Ini merupakan cerminan bahwa kami pelaku usaha yang taat hukum dan turut berkontribusi nyata terhadap pembangunan kota Jakarta lewat pajak daerah maupun pembukaan lapangan kerja melalui sektor pariwisata.

Bersama ini kami mohon kepada pihak Pemda DKI Jakarta dalam hal ini Dinas Perizinan untuk dapat memberikan solusi dan jalan keluar terbaik maupun arahan dan bimbingannya agar usaha kami di sektor pariwisata dapat terus berjalan. Kami siap untuk melakukan pembenahan manajemen sesuai dengan arah kebijakan Pemda DKI Jakarta.

Belum memenuhi unsur

Terkait soal bukti ini, Sekretaris Fraksi Golkar di DPRD DKI Judistira Hermawanmengatakan belum memenuhi unsur di Perda Kepariwisataan. Sebagai contoh, di dalam surat PTSP itu di dalamnya memuat publikasi media. Penolakan izin Alexis berdasarkan publikasi media dinilai tidak tepat. Dia menuturkan penolakan izin Alexis harus didasari temuan faktual dari pihak terkait.

“Ini sebenarnya kan tidak dibenarkan di dalam Perda Pariwisata itu untuk menutup tempat hiburan malam hanya berdasarkan media ya. Ini harus berdasarkan temuan-temuan faktual, baik kepolisian maupun Pemprov DKI Jakarta,” ujar si anggota DPRD seperti dikutip laman kompas.com.

Lebih lanjut dia menyinggung tentang kepastian hukum dan kepastian berusaha. “Ekspektasi dunia usaha bagaimana? Orang berusaha dia harus mendapatkan kepastian hukum. Kalau ini tidak dilakukan, ditemukan pelanggaran-pelanggaran secara sepihak, maka Pemprov DKI Jakarta harus membuktikan,” terangnya.

Keseluruhan dari usaha Alexis Group, seperti hotel, restoran, dan griya pijat yang setiap tahun membayar pajak sekitar Rp 30 miliar per tahun itu telah menghentikan operasinya setelah izinnya belum bisa diproses. Alexis telah merumahkan sekitar 1.000 karyawan yang 600 di antaranya adalah karyawan tetap.

Agenda atasi penyebaran

Soal bukti keberadaan transaksi seks secara konkret, menurut penulis buku Jakarta Undercover Moammar Emka, mengatakan bukan sederhana. Menemukan bukti transaksi seksual, ia melanjutkan, bukan pekerjaan sepele. “Itu susah-susah gampang,” imbuhnya.

Emka melanjutkan, agenda lainnya perlu dipersiapkan karena jumlahnya cukup banyak. Praktek prostitusi kelas dua di Jakarta jumlahnya menjamur dan biasanya berkedok panti pijat, spa, dan salon.

“Biasanya jika prostitusi kelas atas ditutup, beberapa pekerjanya membuka praktek kelas dua, atau beroperasi secara individual. Hal semacam ini perlu dipikirkan oleh pemerintah DKI Jakarta,” papar Emka.

Hal ini terutama terkait dengan seruan Majelis Ulama Indonesia. “MUI juga berharap bahwa kebijakan tersebut tidak hanya diberlakukan untuk Hotel Alexis saja, tetapi semua hotel dan tempat hiburan lainnya yang menawarkan bisnis prostitusi dan perdagangan orang juga harus ditutup,” kata Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Saadi.

“MUI berharap bahwa keputusan tersebut bukan hanya ‘gertak sambal’ tetapi benar-benar dituangkan dalam Surat Keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara resmi, sehingga memiliki kekuatan hukum yang pasti dan dapat dieksekusi,” Zainut melalui keterangan tertulisnya, Selasa (31/10).