RAB.com (JAKARTA): Kebiasaan kaum urban (perkotaan) menyeruput kopi dan teh dalam keseharian ternyata bisa berujung pada obesitas (kegemukan). Khususnya untuk minuman berperisa manis (yang mendapatkan tambahan gula).
“Minuman mestinya berfungsi untuk membuat tubuh terhidrasi, seharusnya tidak menyumbangkan kalori. Tapi perkembangan sekarang ini banyak minuman berperisa manis, kontributor kalori dari gulanya,” ujar peneliti Helda Khusun dari SEAMEO-REFCON (Southeast Asian Ministers of Education Organization – Regional Centre for Food and Nutrition) pekan lalu.
Hal ini berdasarkan studi yang dilakukan terhadap 864 pria dan wanita berusia 18-45 tahun di Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dan Medan. Hasil studi menyatakan bahwa gula pada kopi dan teh menyumbang 5,1 persen kalori dari makanan yang disantap orang dewasa di kota besar Indonesia.
Selain kopi dan teh, kata Helda seperti dikutip Antara di Jakarta, jenis minuman manis lain memberi kontribusi asupan kalori meliputi minuman soda (0,4 persen), jus buah (0,3 persen) dan lainnya (0,7 persen). Teh manis menduduki peringkat pertama dalam daftar minuman yang sering dikonsumsi masyarakat urban Indonesia, setidaknya tiga kali sepekan.
Sebanyak 33,4 persen responden mengaku sering minum teh manis, diikuti dengan jus buah (13,8 persen), kopi (12,9 persen), kopi instan (12,4 persen), teh kemasan botol (9,3 persen), dan jus kotak (4,2 persen).
Ketua Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI) Elvina Karyadi mengatakan pola konsumsi masyarakat urban ini jadi salah satu hal yang mengkhawatirkan. Apalagi aktivitas fisik orang-orang di perkotaan relatif rendah. Bila tidak segera dicegah, beban kesehatan yang harus ditanggung pemerintah akan semakin berat karena penyakit-penyakit terkait dengan konsumsi gula berlebih pun mengintai masyarakat akibat gaya hidup tidak sehat.
Diderita wanita berstatus sosek rendah
Studi yang dilakukan tim Helda menunjukkan bahwa angka obesitas tidak selalu terjadi masyarakat dengan status ekonomi tinggi. Obesitas juga banyak dialami khususnya wanita dengan status sosial ekonomi rendah. Selain itu obesitas lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.
Menilik data Riskesdas 2013, obesitas pada wanita cenderung tinggi berkisar 33 persen dibandingkan pria yang hampir 20 persen. Dalam penelitiannya, Helda melihat dari tingkat kesejahteraan, persentase wanita obesitas dari status ekonomi rendah terhitung 44,3 persen, sementara pria hanya 14,3 persen.
“Tingkat aktivitas fisik perempuan memang sangat sedentary (tidak banyak bergerak). Tetapi ada paparan yang menarik mengenai Fetal Origins of Health and Disease. Masalah kesehatan pada orang dewasa ditentukan pada masa anak-anak, bahkan semasa dalam kandungan,” jelas Helda.
Helda melanjutkan, obesitas ini tidak berasosiasi dengan satu faktor tertentu, tetapi ada banyak faktor. Selain faktor umur, jenis kelamin, tetapi juga lifestyle, konsumsi pangan, dan faktor lingkungan juga berpengaruh. Mengenai Fetal Origins of Health and Disease, ia menjelaskan asupan gizi ibu dalam kandungan memengaruhi pemrograman metabolisme janin.
“Jadi pada saat seseorang berada di dalam kandungan, ada pemrograman metabolisme yang ada di janin. Jika janin mendapatkan asupan makanan kurang atau ibu gizi kurang. Ia akan mengalami adaptasi dari metabolisme tersebut,” jelasnya.
Gizi kurang akan berdampak pada anak yang terlahir dengan berat badan rendah. Kendati demikian, anak lebih tinggi mengalami penyakit tidak menular dan bahkan penyakit obesitas di masa yang akan mendatang.Namun, tidak menutup peluang, kecenderungan ini juga dipengaruhi rendahnya aktivitas fisik pada wanita.