RAB.com (JAKARTA): Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan masyarakat kelas menengah memang tertekan daya belinya karena kenaikan tarif listrik. Pemerintah akan terus berhati-hati dalam mengelola isu turunnya daya beli ini dengan memperhatikan indikator ekonomi yang ada untuk melakukan langkah penyesuaian.
“Banyak masyarakat, terutama dari kalangan kelas menengah, mulai tahun ini agak tertekan karena kenaikan harga listrik yang dengan daya 900 kVA. Kenaikan ini merupakan bagian dari kebijakan APBN yang disetujui dengan DPR untuk secara bertahap mengurangi subsidi yang untuk kelas menengah,” kata Menkeu menjawab soal turunnya daya beli masyarakat.
Hal ini disampaikan Sri Mulyani dalam program Rosi di Kompas TV, Kamis (10/8) menjawab berbagai tudingan tentang ekonomi Indonesia yang oleh sebagian kalangan disebut sudah darurat utang. Dalam kesempatan itu Menkeu menjelaskan berbagai isu tentang keuangan negara, dari soal pajak, belanja infrastruktur, utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) dan perbandingannya dengan negara lain, serta kepulangannya ke Indonesia.
Kalau kita dengar, lanjut Menkeu, banyak suara yang mengatakan bahwa kami membayar listrik lebih mahal. Terkait hal ini, kata dia, pemerintah akan terus mengelola ekonomi dengan hati-hati. “Kalau kita mendengar seperti ini dan melihat indikator ekonomi menunjukkan tekanannya itu nyata, maka kita juga harus hati-hati apakah subsidi ini harus diteruskan atau harus dikurangi atau harus ditambah, dan untuk rakyat yang mana.”
Dari sisi ekonomi makro, tutur Menkeu, kuartal II kemarin untuk ekspor dan investasi itu pertumbuhannya sudah sangat lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sedangkan untuk konsumsi rumah tangga yang sumbangannya lebih dari 55% dari PDB kita itu pertumbuhannya agak lebih kecil dari 5% yaitu 4,95. “Tapi orang-orang psikologisnya karena kepalanya 5 menjadi kepala 4, kemudian rasanya kayak turun sekali.”
Mengamati indikator ekonomi terakhir, Menkeu mengakui ada beberapa hal menarik. Semen dan mobil memang turun, kata dia, namun kalau kita lihat dari laba beberapa perusahaan ritel yang disebutkan melesu, semuanya mengalami laba yang meningkat. Misalnya listed company dari Matahari, Hero, ACE Hardware, ujarnya, ada yang laba meningkat penjualan stagnan, ada yang laba meningkat penjualannya juga naik.
“Jadi kita akan hati-hati melihat sebetulnya pandangan mengenai yang disebut tekanan terhadap ekonomi dan indikasi melemahnya daya beli itu kita harus pahami dari sisi apa,” jelasnya. Dari data tersebut, kata Menkeu, ada betulnya pendapat bahwa ada shifting kegiatan ekonomi ke online yang terlihat pada penerimaan perpajakan.
Kalau kita lihat penerimaan PPN (pajak pertambahan nilai) yang naik 13,5% satu semester ini, dibandingkan tahun lalu yang kontraksi hampir 3%, artinya itu kenaikan yang melonjak sekali. Artinya ada kegiatan ekonomi: tak mungkin orang membayar PPN kalau tidak ada aktivitas ekonomi. Orang kan tidak begitu dermawan untuk republik ini, membayar tanpa ada sesuatu,” tandasnya menambahkan sektor makanan dan minuman juga masih sangat sehat.
.
Kalau kita lihat secara detil, lanjutnya, pajak untuk pergudangan dan jasa delivery atau pengantaran juga melonjak. Untuk jasa pengantaran, kata Menkeu, bahkan di atas 115%. “Artinya usaha seperti Gojek, UPS, Titipan Kilat (JPN) dan yang lain itu meningkat sangat tinggi karena sekarang orang tidak membeli baju di Matahari, tapi melihat di website dan lalu langsung memesan dan kemudian di-delivery.”
Menkeu mengutip tulisan dari Prof Dr Ari Kuncoro, dekan FE -Bisnis UI, yang mengatakan bahwa ada shifting pola yang tidak hanya dari ritel biasa menjadi online, tapi juga pola konsumsi yang bandel pada masyarakat. ” Jadi sekarang itu, menurutnya, masyarakat lebih mementingkan yang disebut konsumsi yang menekankan unsur bersenang-senang, dalam artian seperti domestic tourism atau kuliner bersama teman-teman.
Berbeda dibandingkan sebelumnya seperti rutin berganti HP dengan yang baru atau baju baru. Dulu yang ganti HP enam bulan sekali, sekarang dua tahun sekali. Kalau beli baju sekarang, kata dia, juga yang penting orang punya T-shirt dan sepatu kets supaya bisa hiking sama temen-temen. Kemudian makan di restoran atau warung menarik yang banyak diulas di media sosial (medsos).
“Dari WA-nya Mbak Rosi kan ketahuan: ada grup teman TK, SD, SMP, sampai kuliah, yang lalu bilang hari ini kita teman SMA mau kuliner di Cirebon mau makan soto Gentong. Lalu yang temen SMP bilang kenapa tidak pergi ke Bandung aja makan batagor. Atau grup lain mau pergi ke Tegal makan sate. Dan itu semua mobilitasnya makin tinggi karena pergi rame-rame naik kendaraan umum kereta api.”
Gaya hidup pergi dan kulineran ramai-ramai ini ke luar kota ini, lanjut Menkeu, hanya sehari juga bisa . Makanya untuk itu, kata dia, infrastrukturnya Pak Jokowi sangat penting karena gaya hidup masyarakat sangat membutuhkan itu. Dia mengiyakan bahwa artinya memang tidak ada faktor tunggal untuk mengatakan kenapa daya beli masyarakat dianggap melemah atau melesu.
Menanggapi banyak pihak yang nervous dengan adanya sebagian masyarakat yang turun daya belinya, Menkeu mengatakan bisa memahami itu. Kalau melihat seluruh sektor ekonomi, tambahnya, kita juga mesti hati-hati: mana yang mendapatkan tekanan dan mana yang tidak. Menkeu mencontohkan saat berlangsung commodity boom ketika batubara, kelapa sawit, minyak dan gas, harganya naik pada 2010 sampai 2013.
“Kemudian harga komoditas jatuh, dan jatuhnya tidak tanggung-tanggung.. jatuh tuh. Dari yang harganya 100 menjadi 28 atau 30. Orang syok. Dan ini yang kena langsung adalah perusahaan-perusahaan pertambangan. Yang kena kedua adalah perusahaan konstruksi sehingga kita lihat pproperti langsung.. di Jakarta yang tadinya hampir setiap hari orang bilang saya mau beli apartemen sebelum harganya naik, tiba-tiba berhenti aja itu.”
Dan sebetulnya, tutur Menkeu, Jokowi saat mulai menjadi presiden ada di saat harga yang jatuh drastis dan volumenya juga merosot jauh. Jadi ekspor itu melemah sekali di seluruh dunia itu sehingga harus mengelola dampak dari syok ekonomi yang berasal dari luar tadi. “Nah dalam kondisi ini pemerintah menggunakan APBN-nya untuk sedikit menetralisir jangan sampai syok itu membuat seluruh perekonomian nasional mengalami kontraksi.
Saat dipanggil pulang Presiden Jokowi setahun lalu, kata Sri Mulyani, sebagai orang yang pernah jadi Menkeu tahu betapa beratnya situasi dan kondisi ekonomi yang harus dihadapi oleh pemerintah Indonesia akibat harga komoditas yang merosot. Pada 2016 saat pulang, kenangnya, minggu pertama kan mengumumkan pemotongan anggaran dan pemotongan dari sisi target penerimaan pajak karena kita ingin APBN-nya kembali kredibel.
“Karenanya kalau sekarang tiba-tiba ada orang mengatakan Sri Mulyani senang berutang kan jadi aneh. Wong saya dulu mengurangi defisit supaya tidak terjadi krisis di dalam APBN saya,” ujar Menkeu menambahkan hal itu pula yang menyebabkan salah satu alasannya pulang menjadi penting. “Tapi dalam hal ini kalau kembali bicara tentang pulang, kerja di Indonesia itu kita merasakan apa yang kita lakukan langsung ada artinya bagi masyarakat.”