Pengalihan Kegiatan Ekonomi dan Turunnya Daya Beli

Jadi perdebatan menarik dengan masing-masing menyodorkan data sesuai kepentingannya.
Jadi perdebatan menarik dengan masing-masing menyodorkan data sesuai kepentingannya.

RAB.com (JAKARTA): Daya beli masyarakat menurun? Di era keterbukaan informasi sekarang semua pihak bisa menyatakan pendapatnya. Topik ini tampaknya juga tak luput dari tren untuk dijadikan bahan mengkritisi, kalau tak mau disebut mendiskreditkan pemerintah. Bagaimana tidak karena terutama para kritikus itu juga memilih data yang memperkuat keyakinannya dan menafsirkan sesuai kepentingannya.

Kasus kongkret bisa disimak satu lembaga kajian ekonomi yang telah dengan yakin mengatakan kemampuan membeli masyarakat melemah dengan membeberkan data yang disebut sebagai data reguler. Padahal jelas dalam sekurangnya lima tahun terakhir kondisi di lapangan sudah sangat jauh berubah, terutama akibat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi.

Ironisnya seperti biasa terjadinya berbagai pengalihan (shifting) kegiatan ekonomi akibat perkembangan teknologi komunikasi dan informasi itu tidak, atau sekurangnya belum, terekam dan tercatat dengan baik. Tampaknya hanya ada potongan gambar di sana-sini tentang berlangsungnya fenomena shifting yang kian masif tersebut.

Bisa disebut soal gonjang-ganjing perang taksi konvensional vs taksi online, masyarakat yang kian getol berbelanja berbagai barang lewat aplikasi di telepon pintarnya, mal yang tampak semakin sepi pengunjung,  hingga semakin maraknya para produsen berbagai barang berjualan lewat media sosial (medsos).

Gejala yang sebenarnya di Indonesia semakin ditegaskan dengan makin besarnya porsi belanja iklan di medsos dibanding porsi iklan di TV maupun media konvensional lainnya. Bisa dicontohkan bagaimana seorang internet marketer, yang dulunya mungkin bukan siapa-siapa,  membelanjakan Rp 200 juta dalam sehari untuk beriklan di Facebook.

Kondisi yang di Amerika Serikat telah menjungkalkan beberapa raksasa ritel. Bahkan Warren Buffet, dewa investasi mashyur itu, menyatakan sektor ritel sudah di ambang senja alias tinggal menunggu waktu hingga sepuluh tahun ke depan. Buffet menyatakan hal ini setelah menjual sahamnya di Walmart senilai US$ 900 juta pada Februari lalu dan mengalihkannya ke sektor transportasi udara.

Gaya hidup berubah

Pakar manajemen, Rhenald Kasali, mengutip pendapat seorang pengusaha factory outlet, mengatakan bahwa masalahnya sekarang bukan terletak di daya beli melainkan gaya hidup masyarakat yang sudah berubah dengan cepat sekali. Untuk mengetahui perubahan gaya hidup ini, lanjutnya, tentu perlu sains atau metode ilmiah.

“Masalahnya, lembaga-lembaga yang ditugaskan mengumpulkan data terperangkap dalam sektor-sektor yang bisa dilihat secara kasat mata. Dan sektor-sektor itu semuanya adalah konvensional,” tutur Rhenald sambil menyebut taksi, properti, ritel, keuangan dan pembayaran, penginapan (hotel), otomotif , media dan periklanan yang semuanya masih konvensional.

Tegasnya, lanjut Rhenald, semua sektor itu dirajai pemain-pemain lama yang sudah begitu nyaman dengan posisinya. Begitu pula dengan lembaga pengumpul datanya. “Hampir tak ada yang menunjukkan data substitusi atau prospek dari disruptor-nya. Ini tentu bisa menyesatkan,” tandasnya.

Kalau data-data yang dikumpulkan tetap seperti itu, kata dia, maka sampai kapan pun kita akan semakin cemas, sebab faktanya dunia konvensional cepat atau lambat akan ditinggalkan konsumen baru, khususnya generasi miliennials yang sekarang usianya sudah mendekati 40 tahun.

Generasi millennials mempunyai cara pandang yang benar-benar berbeda dengan para incumbents yang telah bertahun-tahun menjadi market leader. Uang (daya beli) memang belum sebesar generasi yang lebih mapan, tetapi mereka bisa mendapatkan barang dan jasa yang jauh lebih murah di jalur non-konvensional karena dunia ekonomi yang tengah terdisrupsi luar biasa.

Di dunia baru itu mereka dimanjakan pelaku usaha baru yang telah berhasil meremajakan proses bisnisnya. Mereka tak lagi menggunakan pemasaran konvensional melainkan business model. Dan lawan-lawan tangguh pemain-pemain lama itu kini hadir tak kasat mata alias tak kelihatan. Contohnya kasus taksi tanpa merknya di pintu penumpang turun tak terlihat tengah membayar.

Kasus disrupsi Indonesia

“Jadi sama sekali berada di luar orbit incumbent, pengumpul data dari BPS dan lembaga-lembaga survei lainnya, ekonom, bahkan oleh para wartawan sekaligus. Kita hanya disajikan angka-angka penurunan yang sudah diramalkan oleh penemu teori Disruption, Christensen (1997), bahwa data-data itu sungguh tak valid.”

Data dibutuhkan, kutip Rhenald, tetapi dalam era disruption data yang ada sudah tidak bisa dipakai lagi karena yang dikumpulkan adalah data-data kemarin yang hanya cocok untuk melakukan pembenaran. “Sedangkan data yang dibutuhkan adalah untuk melihat apa yang tengah dan yang akan terjadi besok. Jadi kalau belum ada datanya ya pakai teori yang menjelaskan proses shifting itu.”

Dan sekarang, menurut Rhenald, kita saksikan hal itu tengah terjadi secara besar-besaran dalam landscape ekonomi Indonesia. “Semua orang bingung. Tabloid Kontan menyajikan judul menarik, Gejala Anomali Ekonomi Indonesia sembari menunjukkan data-data penurunan pertumbuhan penjualan beragam sektor. Sayangnya kita hanya membaca sektor-sektor yang, maaf, konvensional.”

Dosen UI ini menambahkan banyak orang juga tak cermat membaca data yang saling bertentangan. Misalnya penjualan sepeda motor turun sebesar 13,1 persen dan semen turun satu persen pada semester 1 tahun 2017 (dibanding periode sama 2016). Gejala serupa terjadi pada mainan anak-anak juga turun signifikan. Sama dengan data dari asosiasi pengusaha angkutan truk.

Namun tak banyak disimak bahwa pendapatan PT Astra International naik 30 persen sepanjang semester I tahun 2017. Contoh lainnya, lanjut dia, selama mudik lebaran kemarin (dipantau sekitar 4 minggu), penumpang yang terbang dari 13 bandara di lingkungan Angkasa Pura II naik sekitar 11 persen. Bandara Halim Perdanakusuma saja naiknya hingga 25 persen.

Fakta adanya penurunan kinerja ini jelas disukai para eksekutif yang bisnis-bisnisnya mengalami kelesuan. Mereka tiba-tiba seperti punya jawaban pembenaran bahwa memang bener daya beli turun. Fakta itu justru lebih banyak dipakai menghibur diri untuk membenarkan turunnya pencapaian target. Tak banyak yang bertanya apa yang terjadi dan ke mana kegiatan ekonomi beralih.

“Terjadi confirmation trap karena puluhan pelaku usaha di bidang yang konvensional semua membenarkannya. Dan anda pun memiliki satu buah perangkap lagi: a blame trap,” ujarnya menandaskan kita pertama-tama cenderung terlalu senang mencari siapa yang bisa disalahkan dan bukan memecahkan masalah yang sebenarnya.