RAB.com (JAKARTA): Seks murah diduga menjadi penyebab turunnya angka pernikahan pada kelompok usia 25-34 tahun di Amerika Serikat (AS). “Pilihan tersebut memisahkan seks dari pernikahan dan keinginan berkeluarga,” kata Mark D. Regnerus, sosiolog di University of Texas di Austin pada bahasan pokok dalam buku barunya yang terbit belum lama ini.
Regnerus menyebut “seks murah” punya andil besar yang mengubah total kehidupan seksual warga muda AS. Dia mengungkapkan hal ini dalam bukunya Cheap Sex: Man Transformation, Marriagge, and Monogamy yang diterbitkan Oxford University Press. Keseluruhan bukunya mengulas tentang bagaimana urusan kencan modern dibentuk oleh perekonomian seksual, teori yang melihat soal perjodohan manusia sebagai pasar.
Gagasannya, seperti bisa diduga dari judulnya, adalah bahwa seks kian murah dan mudah diakses dibanding dulu-dalam pengertian waktu, usaha, dan risiko. Kontrasepsi membuat risiko hamil berkurang dan platform kencan online membuatnya lebih mudah diakses. Jika tidak, tuturnya, selalu ada konten pornografi online yang nyaris tak perlu usaha untuk memperolehnya.
Berbagai faktor ini, kata Regnerus, “telah menciptakan perlambatan masif dalam pengembangan hubungan berkomitmen, khususnya pernikahan. Anda bahkan sama sekali tidak memerlukan hubungan atau komitmen jangka panjang.” Jumlah pernikahan kenyataannya anjlok di kalangan dewasa muda. Mengutip pakar demografi, kata Regnerus, penurunan sampai pada tingkat sepertiga populasi usia awal 20-an tidak akan pernah menikah.
Untuk memahami keterpuruhan seks ini, bisa dilihat bahwa pada tahun 2000, 55 persen warga AS usia 25-34 tahun berstatus menikah, dibandingkan dengan hanya 34 persen yang tak pernah menikah. Sejak itu, dua kelompok itu telah bertukar tempat. Pada 2014, 52 persen di kelompok usia itu tidak pernah menikah, sedangkan hanya 41 persen yang menikah.
Lebih dari 300 persen
Warga muda AS kini lebih senang merasakan dan mengekspresikan passion-nya pada sejumlah kegiatan, minat, atau topik tertentu dibanding terlibat hubungan dengan orang lain. Satu studi tahun 1992 menemukan bahwa 29 persen pria dan 9 persen wanita melakukan masturbasi setidaknya seminggu sekali. “Pada 2014, 49 persen pria dan 32 persen wanita mengaku melakukannnya.”
Tidak mengherankan, “karena frekuensi pornografi meningkat, begitu pula masturbasi.”
Regnerus menyimpulkan, selama seks sangat rendah biayanya bagi pria, wanita heteroseksual akan mengalami kesulitan untuk menemukan pasangan yang layak untuk diajak menikah. Hal ini terjadi, katanya, karena ekonomi seksual yang bergantung pada pembagian peran gender yang ketat: pria sebagai pemberi nafkah dan wanita mengurus rumah tangga tak lagi berlaku.
Seks murah adalah istilah ekonomi yang dimaksudkan untuk menggambarkan seks yang hanya perlu biaya sangat kecil dalam hal waktu atau investasi emosional, sehingga memberi sedikit nilai. Regnerus mendasarkan sebagian gagasannya, pada karya ahli teori sosial Inggris Anthony Giddens yang berpendapat aspek seks sebagai hal yang sama sekali bisa dipisahkan tersendiri..
Di generasi lampau, wanita umumnya membuat pria menunggu sampai menikah untuk berhubungan seks. Untuk mendapatkan istri (dan seks), pria harus memiliki pekerjaan yang bagus. Kondisi ini, tutur Regnerus, memberi pria semua motivasi yang mereka butuhkan untuk menjadi anggota masyarakat yang terhormat.
“Namun kini dengan berlimpahnya konten porno sesuai permintaan dan risiko minimal penggunaan alat kontrasepsi yang mencegah kehamilan, seks merupakan komoditas yang tersedia setiap saat. Hal ini telah membuat pria makin berkurang motivasinya untuk menikah,” tulis Regnerus, yang mengutip prediksi pakar demografi Steven Ruggles bahwa satu dari tiga pria usia 20-an tidak akan pernah menikah.
Siapkah dengan konsekuensinya?
Regnerus menyebut fenomena seks murah terkait dengan menurunnya tingkat pendidikan dan pekerjaan di kalangan pria, sedangkan wanita lebih banyak mendapatkan gelar sarjana dan menjadi angkatan kerja yang lebih tinggi jabatannya. Warga AS pada kelompok usia 25-34 tahun, wanita yang memiliki gelar sarjana lebih tinggi enam persen dibanding pria.
Dia mendukung teori ini dengan mengutip psikolog sosial Roy Baumeister dan Kathleen Vohs, yang mempelajari fenomena ini. “Saat ini, pria muda dapat melewati jalan memutar terkait prospek pendidikan dan karier agar memenuhi syarat untuk mendapatkan seks,” tulis mereka. “Seks menjadi bebas dan mudah. Ini adalah versi sekarang dari pendapat pria.”
Regnerus berpendapat bahwa sementara wanita mempertahankan peran mereka sebagai penjaga hubungan seksual, pria mengendalikan pasar pernikahan. Dan mengingat kemudahan akses terhadap seks, Regnerus percaya bahwa motivasi laki-laki untuk menikah bisa sama sekali hilang.
Dia menyurvei 15.000 responden di bawah 40 tahun yang belum menikah dan menemukan dari setiap 100 wanita yang mengatakan ingin menikah, hanya 82 pria yang berpikiran sama. Meskipun relatif sedikit selisihnya, menurutnya, kondisi ini menegaskan bahwa pria makin jadi penentu hubungan sampai ke pernikahan.
Bagi banyak wanita, katanya, pria tampak memiliki rasa takut akan komitmen. Pria menjadi pengendali dalam pasar perkawinan dan diposisikan secara optimal melakukannya dengan cara yang mengutamakan kepentingan dan preferensi seksual mereka. Pada gilirannya, ini menyebabkan wanita terus melajang, memasuki pernikahan yang hancur atau pernikahan yang tidak memuaskan.
Pakar dengan bidang minat utama perilaku seksual, dinamika hubungan (relationship), dan agama ini mengatakan bahwa apa yang telah dipaparkan merupakan konsekuensi kebebasan seksual warga AS selama ini. Tapi bagaimana saat harga atas kebebasan itu adalah kesepian? Sanggupkan para pelaku menghadapinya?