RAB.com (JAKARTA): Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia naik 4,7% dari tahun ke tahun. Terhitung Agustus 2017, total ULN Indonesia US$ 340,5 miliar. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), ULN sektor swasta tumbuh 0,1 persen dari tahun ke tahun. ULN sektor swasta mencapai angka US$ 165,6 miliar atau 48,6 persen dari total ULN.
Sedangkan ULN sektor publik pada Agustus 2017 tumbuh 9,5 persen dari tahun ke tahun yaitu mencapai US$ 174,9 miliar. Proporsi 51,4% dari total ULN ini oleh BI dianggap masih terkendali terkait ULN jangka panjang dan jangka pendek. ULN berjangka panjang tumbuh 3,3 persen dari tahun ke tahun pada Agustus 2017. Sementara itu, ULN berjangka pendek tumbuh 14,6 persen dari tahun ke tahun.
Posisi ULN berjangka panjang tercatat US$ 294,7 miliar atau 86,5 persen dari total ULN. Hal ini terdiri dari ULN sektor publik sebesar US$ 172,6 miliar dan ULN sektor swasta sebesar US$ 122,1 miliar. Sedangkan ULN berjangka pendek mencapai 45,8 miliar AS atau 13,5 persen dari total ULN. Dari sektor swasta sebesar 43,5 miliar dollar AS dan sektor publik sebesar USD2,3 miliar.
Menurut BI posisi ULN swasta pada akhir Agustus 2017 masih terkonsentrasi di empat sektor. Empat sektor itu yakni keuangan, industri pengolahan, pertambangan, serta listrik gas dan air bersih (LGA). Pangsa ULN keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 76,8% atau naik dibandingkan bulan sebelumnya.
Kenaikan ini disebabkan meningkatnya pertumbuhan ULN pada sektor industri pengolahan dan LGA. Sementara itu ULN pada sektor ngan dan pertambangan kenaikannya masih mandek.
BI menyatakan perkembangan ULN pada Agustus 2017 tetap terkendali. Hal ini terlihat dari rasio ULN Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) di kisaran 34% pada akhir Agustus 2017. BI menyatakan terus memantau perkembangan Utang Luar Negeri dari waktu ke waktu. Menurut BI, ULN dapat berperan dalam mendukung pembiayaan pembangunan dan minim resiko.
Terbebani masa lalu
Ekonomi Indonesia dinilai masih dibebani utang masa lalu. Ini membuat utang yang dilakukan pemerintah saat ini lebih banyak digunakan untuk membayar bunga utang masa lalu. “Indonesia masih bergelut dengan utang warisan masa lalu,” kata dosen ekonomi Universitas Pertamina Eka Puspitawati.
Menurut Eka, struktur utang luar negeri Indonesia sebesar 69-70 persen masih digunakan untuk membayar utang masa lalu. Hanya sekitar 30-31 persen digunakan untuk utang ke depan. Hal ini diungkapkan dalam diskusi bertema Utang Negara untuk Apa dan Siapa di Universitas Pertamina, Jakarta akhir Agustus lalu.
Dalam penyampaian Nota Keuangan di hadapan DPR pada 16 Agustus 2017, Presiden Joko Widodo mengatakan belanja negara dalam RAPBN 2018 direncanakan sebesar Rp 2.204,4 triliun. Dengan rencana Pendapatan Negara dan Belanja Negara ini, defisit anggaran dalam RAPBN 2018 adalah 2,19 persen atau sebesar Rp 325,9 triliun.
Eka mengatakan saat ini rasio utang terhadap PDB memang lebih rendah dibanding sebelumnya, yakni sekitar 27 persen. Angka ini lebih tinggi dibanding 2006, dimana rasio utang terhadap PDB adalah 46 persen. Bahkan pada 1998 saat Soeharto lengser rasio utang terhadap PDB adalah 57 persen. Ini terjadi karena saat itu terjadi pembengkakan utang akibat kurs dolar yang melonjak.
Dibandingkan negara lain, sebenarnya rasio utang terhadap PDB Indonesia relatif kecil. Jepang, misalnya, rasio utang terhadap PDB adalah 250 persen. Sementara Prancis dan Inggris lebih dari 89 persen. Meski relatif kecil, namun Indonesia termasuk rentan, terutama di sektor finansial, dibanding negara-negara maju. Eka mencontohkan, pengalaman krisis ekonomi di masa lalu, Indonesia sangat mudah digoncang oleh seorang spekulan bernama George Soros.
Tetap butuh utang
“Mata uang kita langsung anjlok, sehingga utang kita semakin tinggi dan menyebabkan kita menjadi defisit luar biasa,” kata dia. Sementara negara lain, meskipun rasio utang terhadap PDDB tinggi, ekonomi relatif lebih stabil, karena walaupun mengalami krisis, utang mereka tidak membengkak seperti di Indonesia.
Meskipun masih lebih banyak digunakan untuk mencicil utang masa lalu, utang yang dilakukan saat ini tetap dibutuhkan. Sebab, pemerintah membutuhkan untuk pembangunan, terutama infrastruktur. Apalagi dilihat dari momentum bonus demografi yang akan dialami Indonesia. “Kalau bukan dari sekarang pembangunannya, jangan-jangan kita kehilangan momentum,” kata Eka.
Sementara itu, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional, Arif Budimanta, mengatakan fokus perencanaan fiskal untuk 2018 adalah agar APBN makin sehat dan ekonomi makin kuat. “Defisit dijaga dan tambahan utang digunakan untuk hal-hal yang produktif,” kata Arif.
Dia menambahkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, defisit APBN terhadap produk domestik bruto dipatok maksimum 3 persen. Selain itu, rasio utang terhadap PDB harus kurang dari 60 persen. “Sampai saat ini defisit anggaran dan rasio utang kita semuanya masih dalam norma UU,” kata Arif.
Menkeu Sri Mulyani mengatakan pemerintah masih terbebani dengan menyicil utang warisan khususnya dari krisis ekonomi 1998. Meski begitu Menkeu menjamin kemampuan pemerintah membayar utang akan terus naik. Sebagian besar utang Indonesia berasal dari dalam negeri dan hanya 39 persen berasal dari asing.