RAB.com (JAKARTA): Pencemaran mikroplastik pada air keran dari ledeng maupun air tanah tak selalu terjadi di permukiman kumuh yang dekat dengan tumpukan sampah. Kandungan mikroplastik juga ditemukan pada sampel air keran di wilayah yang terlihat “normal” dan bersih di kawasan Jakarta Raya.
Itulah hasil penelitian Orb Media bersama ilmuwan dari University of Minnesota dan State University of New York. Satu sampel air yang diambil dari satu rumah di Jl. Peninggilan Utara, Tangerang, Banten, itu menunjukkan adanya kandungan mikroplastik. Padahal permukiman tertata rapi dan tak ada tumpukan sampah yang mencolok di tepi jalan.
Hasil studi terbaru itu mengungkap mikroplastik mengkontaminasi air ledeng dan air tanah di seluruh dunia, termasuk Jakarta dan sekitarnya. Hal itu terungkap dari analisis 159 sampel air keran berasal dari delapan wilayah di lima benua. Dari Indonesia (21 sampel); New Delhi, India (17 sampel); Kampala, Uganda (26 sampel). Juga di Beirut, Lebanon (16 sampel); Amerika Serikat (36 sampel); Kuba (1 sampel); dan, Quito, Ekuador (24 sampel), dan Eropa (18 sampel).
Dari 159 sampel air keran yang diambil dari lima negara tersebut 83 persen mengandung partikel plastik mikroskopis (mikroplastik). Mayoritas mikroplastik yang ditemukan adalah serat plastik (99,7 persen) berukuran 0,1-5 milimeter. Ukuran yang bisa lebih kecil daripada kutu rambut (Pulex irritans) atau plankton Sagitta setosa, yang tidak bakal kelihatan dengan mata telanjang.
“Jumlah rata-rata per liternya mencapai 57 partikel atau sekitar 4,34 partikel per sampel air,” tulis tim yang dipimpin Mary Kosuth, peneliti kesehatan lingkungan dari University of Minnesota, dalam studi berjudul Synthetic Polymer Contamination in Global Drinking Water: Preliminary Report itu seperti dikutip tempo.co. Liputan laporan ini dipublikasikan serentak di sejumlah media terkemuka di seluruh dunia, beberapa hari lalu.
Merusak sistem reproduksi
Di Indonesia, sampel diambil dari lima kawasan Jakarta; Bogor; Depok; Tangerang Selatan; dan Bekasi. Jumlahnya cukup mencengangkan: dari 21 sampel (rata-rata per sampel 500 mililiter), 76 persen diantaranya terkontaminasi mikroplastik. Artinya, ada 1,9 mikroplastik pada tiap 500 mililiter air keran.
Sebagian besar responden yang diambil air kerannya sebagai sampel menyatakan air tersebut untuk minum, mandi, mencuci pakaian, serta memandikan hewan peliharaan.
Sebagian besar zat ini memang akan dikeluarkan melalui kencing sehingga kadar DEHP (diethylhexyl phthalat) pada urine bisa dideteksi. DEHP atau phthalate juga berpotensi merusak liver, sehingga sistem pencernaan akan terganggu. Pada penelitian terhadap binatang, paparan phthalate pada liver menyebabkan berkembangnya kanker liver.
Bahaya phthalate tak hanya itu karena bisa masuk ke sistem reproduksi manusia sehingga menyebabkan kemandulan, terutama pada pria. Penelitian tentang ini pernah dilakukan di Jepang dengan menggunakan tikus sebagai binatang percobaan.
Studi tersebut menggunakan Benzyl Butyl Phthalate dan mendapatkan hasil bahwa pada dosis tertentu, zat ini merusak sistem reproduksi tikus jantan. Sebab, phthalate akan dikenali secara salah oleh tubuh sebagai “hormon” sehingga merusak sistem reproduksi pria.
“Kami yakin memiliki cukup data untuk membuktikan bahwa satwa, terutama yang hidup di alam liar, terdampak mikroplastik,” kata Sherri Mason, peneliti mikroplastik dari State University of New York, yang menjadi anggota tim. “Ini membuat kita berpikir bahwa, apakah mikroplastik berpengaruh kepada manusia?”
Meski para ahli mengatakan masih terlalu dini menghubungkan serat plastik dalam air keran dengan kandungan kimia atau senyawa biologis lain, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan. “Paling dekat adalah penelitian terhadap manusia,” kata Lincoln Fok, pakar lingkungan dari Education University of Hong Kong. “Apakah terakumulasi dalam biologis? Membatasi perkembangan sel manusia? Atau, menjadi vektor patogen berbahaya?”
8,3 miliar ton plastik
Selama ini, negara di seluruh penjuru dunia menghasilkan 300 juta ton plastik setiap tahunnya. Itu setara dengan berat 46 Piramida Gizza. Lebih dari 40 persen plastik tersebut hanya digunakan sekali, kadang kurang dari satu menit, lalu dibuang.
Pemakaian yang singkat itu tidak sebanding dengan keberadaannya di lingkungan yang bisa bertahan selama berabad-abad. Sebuah studi memperkirakan lebih dari 8,3 miliar ton plastik telah dihasilkan sejak dekade 1950. Lambatnya proses pengolahan air limbah memungkinkan lebih banyak serat plastik terproduksi. Pengujian lain dibutuhkan untuk melihat hal tersebut.
Plastik tersebut tidak bisa hancur. Tapi menjadi potongan-potongan mikroskopis yang dimakan ikan dan satwa laut lainnya dan dapat ditemukan di pasar-pasar ikan di Asia Tenggara, Afrika Timur, dan California. Ini mengilhami Orb Media untuk melihat keberadaan mikroplastik dalam saluran air ledeng dan sumur.
Orb Media dan tim melakukan beberapa metode analisis untuk mengungkap keberadaan mikroplastik dalam saluran air keran dan sumur. Pertama, mereka mengumpulkan sampel dari berbagai lokasi, termasuk di Indonesia.
Tahap kedua, air dilalukan pada filter selulosa Whatman selebar 55 milimeter. Filter ini mampu menangkap keberadaan mikroorganisme dari ukuran 2,5 mikronmeter. Botol yang telah kosong dibilas tiga kali dengan air yang sudah dideionisasi untuk menangkap partikel yang mungkin tertinggal dalam botol. Filter tersebut juga diberi pewarna pigmen rose bengal untuk membedakan bahan organik dan sintetis.
Tahap terakhir, filter ini diperiksa di bawah mikroskop Leica EZ4W yang bisa menangkap benda mikroskopis sampai 0,1 milimeter.